Thursday, August 30, 2007

SUKUK

AKAD-AKAD MUAMALAT DALAM OBLIGASI

1. Pendahuluan

Obligasi adalah sertifikat yang berisi kontrak antara investor dan perusahaan, yang menyatakan bahwa investor tersebut/pemegang obligasi telah meminjamkan uang kepada perusahaan. Perusaan yang menerbitkan obligasi tersebut mempunyai kewajiban untuk membayar bunga secara regular sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan serta pokok pinjaman saat jatuh tempo.[1]

Dalam pasar uang yang telah berkembang dengan baik bentuk dan jenis obligasi bisa mencapai belasan bahkan puluhan.

Obligasi sebagaimana sekuritas pendapatan tetap (fixed income securities) memiliki beberapa karakteristik : Petama, surat berharga yang mempunyai kekuatan hukum. Kedua, mempunyai jangka waktu tertentu atau masa jatuh tempo. Ketiga, memberikan pendapatan tetap secara priodik. Keempat ada nilai nominal, yang disebut juga nilai pari, par value, stated value, face value atau nilai coupon.

Besarnya persentase pembayaran yang diberikan secara priodik atas pembayaran persentase tertentu didasarkan atas nilai nominalnya atau disebut pembayaran kupon (coupon). Kupon merupakan penghasilan bunga obligasi[2] yang didasarkan atas nilai nominal yang dilakukan berdasarkan perjanjian., biasanya setiap tahun atau setiap semester atau triwulanan. Penentuan tingkat bunga kupon obligasi biasanya ditentukkan berdasarkan tingkat bunga komersial yang sedang berlaku. Setelah obligasi memasuki masa jatuh tempo (Maturity date) pemilik obligasi akan menerima pokok pinjaman dan satu kali pembayaran kupon. Besarnya pelunasan obligasi oleh penerbit pada saat jatuh tempo akan ekivalen dengan harganya.

Sebagai surat utang, penerbit obligasi melibatkan perjanjian kontrak yang mengikat antara pihak penerbit (issuer) dengan pihak pemberi pinjaman/investor/bondholder. Kontrak perjanjian yang mengikat antara penerbit dengan pihak pemberi pinjaman sebagai investor minimal harus berisi empat hal:

1. Besarnya tingkat kupon dan priode pembayarannya,

2. Jangka waktu jatuh tempo,

3. Besarnya nominal, dan

4. Jenis obligasi.

Obligasi sebelum diperdagangkan harus melewati proses pemeringkatan. Pemerigkatan terhadap obligasi yang akan diterbitkan bertujuan untuk menilai kinerja perusahaan. Ada dua lembaga pemeringkat (rating agency) yang terbesar didunia Moody’s dan standard and poor’s. Sedangkan lembaga pemeringkatan di Indonesia adalah PT. Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO).

Sedangkan obligasi syariah sebagaimana fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Obligasi syariah bukan merupakan utang berbungga tetap, tetapi lebih merupakan penyertaan dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Transaksinya bukan akad utang-piutang melainkan penyertaan. Obligasi sejenis ini lazim dinamakan muqaradhah bond, dimana muqoradhah merupakan nama lain dari mudharabah. Dalam bentuk yang sederhana obligasi syariah diterbitkan oleh sebuah perusahaan atau emiten sebagai pengelola atau mudharib dan dibeli oleh investor shahibul maal.

Dana yang terhimpun disalurkan untuk mengembangkan usaha lama atau pembangunan satu unit baru yang benar-benar berbeda dari usaha lama. Bentuk alokasi dana yang khusus (specially dedicated) dalam syariah dikenal dengan istilah mudharabah muqayyadah. Atas penyertaannya, investor berhak mendapatkan nisbah keuntungan tertentu yang dihitung secara proporsional dan dibayarkan secara priodik.

2. Perbedaan Obligasi Syariah dan Konvensional

Dalam harga penawaran, jatuh tempo, pokok obligasi saat jatuh tempo, dan rating antara obligasi syariah dan konvensional tidak ada bedanya. Perbedaan terdapat pada pendapatan dan return. Perbedaan kedua obligasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.[3]

Keterangan

Obligasi Syariah

Obligasi konvensional

Harga Penawaran

100%

100%

Jatuh tempo

5 tahun


Pokok Obligasi Saat jatuh Tempo

100%

100%

Pendapatan

Bagi hasil

Bunga

Return

15.5-16% indikatif

15,5-16 tetap

Rating

AA+

AA+






Namun dalam obligasi syariah lebih kompetitif dibanding obligasi konvensional, sebab :

1) Kemungkinan perolehan dari bagi hasil pendapatan lebih tinggi daripada obligasi konvensional yang berbasis bunga.

2) Obligasi syariah aman karna untuk membiayai proyek prospektif.

3) Bila menggalami kerugian (diluar kontrol), investor tetap memperoleh aktiva.

4) Terobosan paradigma, bukan lagi surat utang, tetapi surat investasi.

3. Akad-Akad Muamalat Dalam obligasi Syariah

Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) sekaligus investasi (invesment) memungkinkan beberapa bentuk struktur akad yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindari pada riba. Diantara akad-akad muamalat yang dapat diaplikasikan dalam obligasi adalah sebagai berikut :[4]

  1. Obligasi al-Mudharabah

Salah satu bentuk obligasi yang sesuai dengan kaidah syara’ ini diusulkan oleh DR. Sami Hamud, yang mana kesepakatan antara pemilik harta dan ’amil (pekerja/pihak yang mengeluarkan obligasi) berdasarkan atas akad mudharabah (bagi hasil) islami. Pihak pemegang obligasi berhak mendapat bagian dari keuntungan atau menanggung bagian dari kerugian tanpa ada jaminan atas harga dan keuntungan serta tidak ada jaminan untuk bebas dari kerugian.

Obligasi ini telah telah diterapkan pada lembaga-lebaga keuangan syariah diantaranya Jordan Islamic bank, kementrian wakaf Yordania dan Delta al-Barakah.

DR. Sami Hamud juga memaparkan contoh-comtoh lain dari surat-surat berharga yang baru, seperti ashum ghair al-mushawwatah (saham yang tidak memiliki hak suara) sebagai ganti obligasi konvensional serta surat utang negara dalam bentuk sukuk yang dikhususkan bagi investasi islami.

  1. Obligasi al-Mudharabah al-Muthlaqah al-Islamiyah

Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan yang ingin memperoleh modal untuk investasinya. Obligasi ini memberikan kepada pemegangnya hak untuk memperoleh nisbah dari keuntungan dari investasi yang berbeda-beda milik perusahaan sesuai dengan kaidah al-gunm bi al-ghurm. Karena itu obligasi ini memberikan fleksibilitas dalam menggerakkan harta pada berbagai bidang investasi.

Para ahli fiqh membenarkan obligasi ini berdasarkan pada qiyas atas akad mudharabah, yang mana pemegang surat memreprensentasikan pemilik modal (raab al-maal) dan perusahaan yang mengeluarkan surat berharga tersebut diberlakukan sebagai mudharib atau ‘amil dan hubungan antara kedua pihak tersebut tunduk kepada kaidah-kaidah syara’ dalam akad mudharabah.

Obligasi ini dikeluarkan dengan mata uang negara tempat perusahaan yang mengeluarkan obligasi tersebut tersebut berada dan bisa juga obligasi itu dikeluarkan dengan mata uang lain dengan persetujuan pemerintah yang berkuasa dinegara tersebut. Dalam hal ini harus diperhitungkan bidang-bidang penggunaannya ketika memilih mata uang yang akan digunakan dalam obligasi yang akan dikeluarkan.

Obligasi al-Mudharabah al-Muthlaqah al-Islamiyah dikeluarkan dengan satu harga nominal, sehingga mudah untuk menghitung deviden dan pengembaliannya. Harga nominal tersebut kadang berbeda dari satu mata uang ke mata uang yang lain begitu juga peredarannya dalam pasar modal, berdasarkan qiyas atas saham biasa.

  1. Obligasi al-Mudharabah al-Muqayyadah al-Islamiyah

Perbedaan mendasar antara obligasi mudharabah muqayyadah dengan obligasi mudharabah muthlaqah bahwa hasil dari mudharabah muthlaqah digunakan dalam segala macam dan bidang investasi atau aktivitas yang diyakini oleh perusahaan bahwa hal tersebut penting dan menguntungkan, sedang hasil pengumpulan dana obligasi mudharabah muqayyadah digunakan untuk pembiayaan proyek atau aktivitas yang tertentu, karena itu investor mempunyai hak untuk memilih proyek atau aktivitas mana yang ia inginkan untuk penggunaan hartanya, hal yang mana tidak dimiliki oleh investor dalam mudharabah muthlaqah

Obligasi mudharabah muqayyadah dibangun berdasarkan pemikiran menggaitkan antar sumber pembiayaan, bidang penggunaan, jangka waktu, deviden, yang diperkirakan dan gelombang pembayarannya. Ada dua macam obligasi mudharabah muqyyadah yang bisa dikeluarkan, yaitu :

a) Obligasi mudharabah muqayyadah bi masyru’ mua’ayyan (obligasi mudharabah terbatas untuk proyek tertentu)

Merupakan obligasi yang memberikan hak kepada pemiliknya untuk ikut serta secara temporer dalam pembiayaan proyek atau aktivitas tertentu dan ikut serta dalam keuntungan yang dihasilkan dalam proyek serta ikut menanggung hasilnya baik positif maupun negatif. Seperti proyek perumahan, perbaikan tanah tertentu dengan tujuan penjualan, dan lain-lain.

b) Obligasi mudharabah muqayyadah bi majal mu’ayyan (obligasi mudharabah terbatas untuk bidang tertentu)

Merupakan obligasi yang memberikan pemiliknya hak untuk ikut serta dalam keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta dalam aktivitas investasi tertentu seperti bidang kontraktor, atau bidang peternakkan, dan sebagainya. Hasil dari penggunaan obbligasi tersebut dipergunakan dalam berbagai segi penggunaan yang berbeda-beda didalam bidang aktivitas tertentu yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan hukum-hukum syariat islam yaitu mudharabah, musyarokah, murabahah atau bentuk-bentuk investasi islami lainnya.

  1. Obligasi al-Mudharabah Yang Bisa Dikonversi Menjadi Saham

Produk ini adalah surat obligasi yang bisa dirubah menjadi saham setelah jangka waktu tertentu dengan persetujuan pemiliknya, sehingga pemilik obligasi tersebut berubah menjadi musyarik muaqqat (mitra kerjasama temporer) bagi perusahaan dalam keuntungan investasinya menjadi pemilik saham atau mitra kerjasama selamanya.

Obligasi ini sama dengan obligasi mudharabah, baik yang muthlaqah maupun muqayyadah dengan dua jenisnya dalam dua jenisnya dalam hal bahwa obligasi ini berdasarkan asas musyarokah dan al-ghunm bi al-ghutm dalam pembagian keuntungan, sehingga dalam hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah islam dalam distribusi keuntungan investasi. Sedang perbedaannya adalah bahwa obligasi jenis ini bisa diubah menjadi saham setelah jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

Perusahaan memilih mengeluarkan obligasi jenis ini dalam kondisi-kondisi berikut:

· Kondisi adanya halangan konstitusional temporer untuk menambah modal

· Tanggapan yang besar dari para investor untuk mendaftarkan diri dalam obligasi jenis ini dengan harapan menjadi pemegang saham dimasa yang akan datang.

· Pada kondisi aktivitas atau proyek-proyek investasi yang memerlukan pembiayaan jangka panjang secara relatif, namun proyek tersebut tidak sesuai (cocok) dengan pengeluaran obligasi mudharabah.

Pengeluaran obligasi mudharabah yang bisa dikonversikan menjadi saham dihukumi sama dengan ketentuan-ketentuan sama dengan obligasi mudharabah, dan ditambah hal-hal berikut :

1. Wajib menjaga kaidah-kaidah yang diterapkan untuk pertambahan modal sesuai dengan undang-undang negara tempat perusahaan yang mengeluarkan obligasi itu berada.

2. Wajib menjaga keseimbangan keuangan dengan sumber-sumbernya baik dari dalam maupun dari luar.

3. Wajib menjelaskan kadar batas maksimal pengeluaran bagi saham baru jika ada.

4. Tanggal dan syarat-syarat konversi menjadi saham harus dijelaskan, serta jangka waktu yang mana pemilik surat obligasi tersebut bisa meminta untuk mengkonversinya ke dalam saham.

5. Penjelassan tanggal pengembalian harga obligasi dalam kondisi tidak dikonversi kedalam saham.

4. Emisi Obligasi Syariah dan mekanisme Obligasi Syariah di Indonesia[5]

Syarat-syarat untuk menerbitkan Obligasi syariah diantaranya sebagai berikut :

  1. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan subtansi fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/200. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariat islam diantaranya adalah :
    1. Usaha perjudian dan usaha permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
    2. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
    3. Usaha yang memproduksi, mendistribusikan serta memperdagangkan makanan dan minuman haram.
    4. Usaha yang memproduksi, mendistribusikan dan menyediakan barang-barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
  2. Peringkat investasi/grade

1. Memiliki fundamental usaha yang kuat.

2. Memiliki fundamental keuangan yang kuat

3. Memiliki citra yang baik bagi publik.

  1. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta islamic Index (JII)

Beberapa hal pokok mengenai obligasi syariah dapat diringkas dalam beberapa butir :[6]

  1. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.
  2. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditentukan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (opening profit, EBIT,atau EBITDA). Tetapi fatwa no. 15 /DSN-MUI/IX/2000 memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian keuntungan usaha sebaiknya menggunakan prinsip revenue sharing.
  3. Nisbah dapat ditentukan konstan meningkat ataupun menurundengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan diawal kontrak.
  4. Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh kerenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
  5. Pembagian hasil pendapatan atau keuntungan ini dapat dilakukan secara priodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan)
  6. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah membertikan indicative return tertentu.

4. Kesimpulan

Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) sekaligus investasi (invesment) memungkinkan beberapa bentuk struktur akad yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindari pada riba.

Secara garis besar akad-akad obligasi syariah diklasifikasikan menjadi dua :

1. Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah/muqaradah/qirad atau musyarakah yang merupakan kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.

2. Margin/fee berdasarkan akad murabahah/salam/istishna atau ijarah, dengan kadar murabahah/salam/istishna sebagai bentuk jual beli denga skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.

Dalam makalah ini karena keterbatasan kapasitas penulis. Penulis hanya mengkaji akad-akad obligasi yang berbasis mudharabah saja. Dengan pertimbangan akad mudharabah yang paling tepat dalam aplikasi obligasi. Diantara alasan-alasan yang mendasarinya adalah sebagai berikut :

1. Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka waktu yang relatif panjang.

2. Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan modal kerjaataupun pendanaan capital expenditure.

3. Mudharabah merupakan pencampuran kerjasama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga membuat strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (colateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar kadar jual-beli yang mensyaratkan jaminan aset yang didanai.

4. Kecenderungan regional dan global dari penggunaan struktur murabahah dan bai bithaman ajil menjadi mudharabah dan ijarah.



[1] Panduan Investasi di Pasar Modal Indonesia, BAPEPAM, 2003

[2] Iggi H Achsien, Mengenal Obligasi syariah, 2003

[3] M. Lutfi Hamidi, Jejak-jejak Ekonomi Syariah, Senayan Abadi, Jakarta, 2003

[4] DR.Husein syahatah dkk, Bursa Efek : Tuntunan Islam Dalam bertransaksi di Pasar Modal, Pustaka Progresif, Jakarta, 2004

[5] Heri sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonisa UII,

[6] Iggi H Achsien, (2003), Op cit.

Read More......

Perbandingan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental


Perbandingan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental

A. Perjanjian Dalam Hukum Islam

Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-’aqd yang berarti perikatan, perjanjian, permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan :

Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan

Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.

Sedangkan pencatuman kalimat ”berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya terjadi perpindahan pemilikan/hak dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang melakukan qabul).[1]

  1. Rukun Akad

Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad adalah[2] :

- pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-’aqd),

- pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain)

- Objek akad (al-ma’qud ’alaih)

  1. Syarat-syarat Akad

Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad:[3]

- Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), tidak sah orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya.

- Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

- Akad diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.

- Akad itu bukan akad yang dilarang syara’.

- Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka bila seseorang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.

- Ijab dan kabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijabnya tersebut menjadi batal.

  1. Kemerdekaan mengemukakan syarat dalam akad[4]

Para ulama fiqh menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak yang berakad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat al-Maidah, 5:1.

Wahai orang-orang yang beriman penuhi akad itu...”

Ulama Hanafiah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad. Sedangkan menurut ulama Hanabilah dan malikiyah, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalan suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.

  1. Berakhirnya akad[5]

Para ulama menyatakan suatu akad dapat berakhir apabila;

- Berakhirnya masa berlaku akad tersebut, apabila akad tersebut memiliki tenggang waktu.

- Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.

- Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dianggap berakhir jika :

§ jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan, salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi.

§ Berlakunya Khiyar

§ Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak

§ Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna

- Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia untuk akad-akad tertentu misalnya: sewa-menyewa, ar-rahn, al-wakalah, al-kafalah.

B. Perjanjian Dalam Hukum Eropa Kontinental

Perikatan Dalam sistem hukum eropa kontinental bahwa perikatan dilahirkan dari:[6]

- perjanjian; dan

- Undang-undang

Pengertian perikatan menurut hukum eropa kontinental adalah:[7]

Suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi

Prestasi yang dimaksud dalam buku III BW dapat berupa :[8]

- Menyerahkan suatu barang;

- Melakukan suatu perbuatan;

- Tidak melakukan suatu perbuatan.

1. Unsur-unsur perjanjian (rukun)[9]

- Adanya dua pihak atau lebih

- Adanya kata sepakat diantara para pihak

- Adanya akibat hukum yang ditimbulkan berupa hak dan kewajiban atau melakukan suatu perbuatan.

2. Syarat-syarat objek perikatan/prestasi

Objek perikatan atau prestasi harus memenuhi syarat-syarat:

- Harus tertentu dan dan dapat ditentukan

- Objeknya diperkenankan

- Prestasinya dimungkinkan

Syarat sahnya suatu perjanjian

Untuk syarat sahnya suatu perikakatan/perjanjian ditetapkan pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah ;

i. Orang-orang yang belum dewasa;

ii. Dibawah pengampuan;

iii. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan UU, dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu.

c. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;

d. Suatu sebab yang halal (menurut UU)

3. Kemerdekaan/kebebasan membuat perjanjian

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka artinya bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah ada ketentuan dalam UU maupun yang belum ada ketentuannya, asalkan tidak melanggar UU, ketertiban umum dan kesusilaan.

Hukum perjanjian bersikap sebagai hukum pelengkap, artinya pasal-pasal dalam buku III KUH Perdata dapat dikesampingkan berlakunya manakala para pihak membuat ketentuan sendiri.

4. Berakhirnya perjanjian

- Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak

- UU menentukan batas berlakunya perjanjian

- Para pihak atau UU dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus

- Pernyataan penghentian perjanjian

- Perjanjian hapus karena putusan hakim

- Tujuan perjanjian telah tercapai

- Dengan perjanjian para pihak.

C. Persamaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental

Secara umum terlihat banyak kesamaan tentang hukum perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut (seperti pada uraian diatas).

Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digumnakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.

D. Perbedaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental

Secara garis besar perbedaan yang sangat relevan dan signifikan tentang perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut adalah :

§ Perjanjian menurut hukum Islam sah bila tidak bertentangan dengan syariat sedangkan menurut hukum eropa kontinental perjanjian sah bila tidak bertentangan dengan UU.

§ Subjek perjanjian menurut hukum Islam adalah mukalaf yang ahli (baik laki-laki atau perempuan) dan tidak dalam pengampuan sedangkan dalam hukum eropa kontinental selain disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan, wanita yang menjadi istri tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa adanya izin dari suami (pasal ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1 tahun 1963).

§ Dalam Islam secara tegas dinyatakan perjanjian tidak boleh mengandung riba, ghoror dan maisyir. Dalam hukum eropa kontinental ini tidak diatur dengan rinci.

E. Analisa banding Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental

Secara umum hukum perjanjian dalam kedua sistem hukum tersebut memiliki banyak kesamaan Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digunakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.

Hukum Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sedangkan hukum eropa kontinental bersumber dari Statue Law (hukum tertulis) yang sangat dipengaruhi pandangan hidup manusia pembuatnya yang sangat subjektif.

Walaupun ciri khas hukum eropa kontinental produk-produk hukumnya terkodifikasi dalam suatu hukum tertulis (UU) tapi khusus untuk perjanjian UU hanya sebagai pelengkap dari perjanjian, atau berlaku agium Lex specialis derogate lex generalis dimana lex spesialis adalah isi perjanjian tersebut dan lex generalis UU. Berlaku pula asas pacta sunt servanda, bahwa perjanjian berlaku laksana UU bagi mereka yang membuat. Hal ini serupa dengan sifat kebebasan menentukan syarat dalam akad pada hukum Islam, bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalam suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Kemaslahatan yang ingin dicapai hukum eropa kontinental adalah melindungi kesusilaan dan kepentingan umum sedang hukum Islam juga berusaha mewujudkan hal tersebut yang dikenal dalam Maqasidul Syariah (melindungi agama, jiwa, akal, kehormatam dan harta), karena aspek melindungi agama ini menurut hemat penulis hukum Islam berbeda dengan hukum lainnya termasuk juga dalam hukum perjanjian, makanya dalam perikatan Islam tidak boleh mengandung riba, maisyir dan ghoror yang dilarang dalam syariat.


[1] Nasrun Harun, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h 97

[2] Ibid, h 99

[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h 50

[4] Nasrun Harun, Op. cit h 105-105

[5] Nasrun Harun, Op. cit h 108-109

[6] Hasanuddin rahmat, Contract drafting : Seri Keteramoilan merancang kontrak Bisnis, (Bandung: PT. Cipta Aditya bakti,2003), h 2

[7] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abadin, 1999), h 2

[8] R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), h 123

[9] Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: PP UT, 2003), h 2.3

Read More......