Saturday, March 22, 2008

Pendekatan Perbandingan Hukum


Pendekatan Perbandingan Hukum dengan

Sejarah Hukum dan Sosiologi Hukum

A. Pendahuluan

Pada hakekatnya perbandingan hukum adalah suatu metode penelitian dan bukan hanya suatu cabang ilmu hukum dengan mempergunakan metode membanding-bandingkan hukum yang satu dengan hukum yang lain.

Sebagai metode penelitian perbandingan hukum dapat dipergunakan pada semua bidang hukum baik hukum privat, hukum publik, hukum tata negara dan lain sebagainya.

Perbandingan hukum dipakai di segala bidang hukum untuk memperluas pengetahuan kita tentang hukum.

Perbandingan hukum tidak saja bertujuan untuk mengetahui perbedaan dan persamaannya, tetapi jauh dari itu adalah untuk mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan daripada sistem-sistem hukum yang diperbandingan tersebut sehingga kita dapat memberikan analisa banding, yang berguna dalam pembentukkan hukum nasional dan secara internasional kita dapat menghargai pandangan hidup bangsa lain termasuk hukumnya (sehingga dapat tercipta hubungan antar bangsa yang harmonis dan toleran guna mencapai perdamaian dunia)

Diantara pedekatan yang digunakan dalam proses perbandingan hukum antara lain membandingkan hukum dilihat dari sudut pandang sejarah hukum dan sosiologi hukum, yang menjadi perbahasan dalam makalah kami ini.

B. Pendekatan Sejarah Hukum

Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi perbedaan waktu[1].

Sejarah hukum dengan perbandingan hukum merupakan dua hal yang berhubungan erat. Bahkan menurut Prof. John Gilisen dan Prof. Frits Gorle perbandingan hukum merupakan cara pandang yuris terhadap hukum dengan menempatkannya pada dimensi ruang sedang sejarah hukum adalah cara pandang yang menempatkan hukum pada dimensi waktu[2].

Senada dengan kedua ahli hukum dari Belgia diatas, pada abad 19 Joseph Kohler telah berpendapat bahwa istilah sejarah hukum sama dengan perbandingan ilmu hukum, disamping itu Sir Pollack menganggap tidak ada perbedaan antara historical jurisprudence dan comparative jurisprudence.[3]

Sejarah hukum berusaha mengenali dan memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor yang menyebabkan dan sebagainya serta memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat.

Berikut ini contoh proses perbandingan hukum dengan menggunakan pendekatan sejarah hukum :

§ Membandingkan hukum -yang sifat dan coraknya sama- pada masa lampau dengan hukum pada masa sekarang, misalnya lembaga hukum ”milik” dari hukum Inggris pada masa sekarang dibandingkan dengan lembaga hukum ”milik” pada masa pertengahan dan pada zaman kuno.[4]

§ Pengaturan hak milik tanah di Indonesia dalam kurun waktu yang berlainan mengakibatkan pengaturan-pengaturan yang berbeda, diuraikan berikut ini :

- Sebelum kedatangan Belanda, hak milik di Indonesia diatur dalam hukum adat.

- Selama penjajahan Belanda, hak milik di Indonesia diatur dalam Agrarise Wetgeving.

- Setelah Indonesia merdeka, hak milik diatur dalam UUPA ( Undang-Undang Pokok Agraria).[5]

§ Amerika Serikat walaupun sistem hukumnya Anglo Saxon yang indentik dengan saudara tuanya Inggris bila kita melakukan analisa perbandingan terhadap hukum tata negara keduanya terdapat perbedaan signifikan bahwa Inggris monarki dan Amerika Serikat menganut demokrasi liberal, hal ini dilandasi sejarah bahwa kemerdekaan Amerika Serikat didorong semangat untuk bebas/liberal dari koloni Inggris. Pada akhirnya sejarah tersebut yang menwarnai semangat liberalisme dan anti feodalisme di Amerika sehingga mereka sangat mengangungkan demokrasi liberal sampai saat ini.

§ Sistem pemerintahan negara-negara Anglo Saxon tidak identik dengan saudara tuanya Inggris, misalnya Amerika Serikat tidak mengenal adanya Perdana Menteri, sedangkan India serupa dengan Inggris mengenal adanya Perdana Menteri dalam hukum tata negaranya, bila dirunut sejarahnya mengapa Inggris memiliki Perdana Menteri bahwa terdapat hubungan dengan fakta bahwa George I (1714-1724), raja Inggris pertama dari wangsa Hannover, tidak mampu berbahasa Inggris, sehingga pemerintah tidak lagi seperti sebelumnya, yang dapat berunding dibawah pimpinan raja sebagai ketuanya.[6] Sehingga mulai saat itu Inggris memiliki Perdana Menteri dan diadaptasi oleh India akan tetapi Amerika Serikat karena sejarah pula tidak mengadaptasinya kedalam sistem tata negaranya.

§ Kaidah-kaidah hukum juga mengalami perbedaan dari waktu-kewaktu. Misalnya hukum Romawi (yang menjadi akar hukum Belanda dan turun menjadi hukum positif Indonesia) menganut bahwa orang Romawi perempuan yang menikah cum manu sepenuhnya berada dalam kekuasaan dari pater familitas, sedangkan sejak undang-undang tanggal 30 april 1958 KUH Perdata kita dalam pasal 212 menetapkan bahwa pekawinan tidak merubah kecakapan melakukan perbuatan hukum dari para pihak, sehingga perempuan yang sudah menikah misalnya dapat menjalankan profesi secara mandiri dan mengurus kekayaan sendiri. Dari kasus ini terlihat bahwa walaupun sejarah hukum positif Indonesia berakar pada Romawi karena perbedaan waktu mengalami perubahan.[7]

C. Pendekatan Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum adalah suatu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analisis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial dengan gejala sosial lainnya.[8]

Pendekatan sosiologi hukum menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA sangat penting dalam proses perbandingan hukum untuk dapat mengetahui apakah terdapat konsep-konsep hukum yang universal, dan apakah perbedaan-perbedaan yang ada merupakan suatu penyimpangan dari konsep-konsep yang universal, oleh karena kebutuhan masyarakat memang menghendakinya.

Penelitian perbandingan ini tidak perlu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan beberapa masyarakat yang berbeda, akan tetapi dapat pula diadakan penelitian terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku dalam satu masyarakat yang terdiri dari perbagai sistem sosial dengan masing-masing hukumnya, misal di Indonesia dapat dilakukan penelitian perbandingan terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku diberbagai daerah dan didukung oleh suku-suku bangsa yang berlainan.[9]

Berikut ini contoh proses perbandingan hukum dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum :

§ Perbandingan hukum dengan pendekatan sosilogis dapat menemukan sekalipun sumber hukum yang digunakan oleh berbagai sistem hukum itu sama, namun penerapannya pada satu sistem hukum dapat berbeda dengan sistem lainnya. Misalnya :

- Penerapan kaidah hukum Islam yang sama-sama bersumber dari al- Qur’an yang diterapkan di Saudi Arabia berbeda dengan yang diterapkan di Mesir, Irak dan sebagainya. Penerapan hukum Belanda di negeri Belanda sendiri berbeda dengan di Suriname, Afrika selatan, Srilangka dan di Indonesia.

Dengan mempergunakan pendekatan sosiologis dalam perbandingan hukum dapat diketahui sebab-sebab timbulnya perbedaan yaitu latar belakang sosial budayanya yang berbeda-beda meskipun sumber hukumnya sama.[10]

§ Sistem hukum di Afrika dibandingkan dengan sitem hukum di Indonesia. Ternyata sistem hukum di Afrika berlainan dengan sistem hukum di Indonesia, kebudayaan dan pola politiknya. Jadi perbedaan kebudayaan dan cara hidup bangsa mengakibatkan sistem hukum yang berbeda.[11]

§ Penerapan hukum Anglo Saxon di Inggris sendiri juga jauh berbeda dengan di Amerika Serikat, India, Malaysia atau Australia dikarenakan keadaan masyarakatnya yang berbeda-beda.

Dalam menyelidiki/meneliti persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan, ditemukan bahwa sebab-sebab adanya persamaan maupun perbedaan antara sistem hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, sejarah dan filosofi. Berikut ini kami kutipkan pendapat Prof. Dr Sardjono, SH [12]:

Sebab-sebab adanya persaman-persamaan

- Adanya persamaan dalam pola politik dan/atau pola kebudayaan di negara- negara yang bersangkutan.

- Adanya pertukaran atau pengoperan kebudayaan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain.

- Terjadinya penyusupan (infiltrasi).

- Adanya kebutuhan masyarakat yang bersifat universal.

Sebab-sebab adanya perbedaan-perbedaan

- Keadaan tanah dan iklim di negara-negara bersangkutan.

- Pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dari dua bangsa atau lebih yang disebabkan terjadinya peperangan, revolusi atau berdasarkan perjanjian dengan suatu negara asing.

- Adanya pengaruh dari orang-orang tertentu.

- Keadaan sosial dan ekonomi dari negara-negara yang bersangkutan.

- Karena perbedaan agama.

- Karena perbedaan pola politik dan/atau pola kebudayaan dari bangsa-bangsa yang bersangkutan.

Karena hal-hal itulah maka sistem-sistem hukum yang berlaku di berbagai negara didunia memperlihatkan perbedaan, meskipun didalam semua perbedaan itu tampak pula unsur persamaannya.

Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, supaya suatu sistem tertentu lebih mudah dimengerti, diperlukan perbandingan hukum oleh karena dengan dengan membanding-bandingan hukum, kita juga akan menemukan perbedaan juga persamaan


[1] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h 323

[2] John Gilisen , Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu pengantar, (Bandung: Refika Aditama, 2005), h3

[3] R. Soeroso, Perbandingan HukumPerdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h 3

[4] Op.Cit, Pengantar Ilmu Hukum, h 327

[5] Ibid, h 332

[6] Ibid, Sejarah Hukum Suatu pengantar, x-xi

[7] Ibid, , x

[8] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pres, 2004), h 25

[9] Ibid, h 14

[10] Op.Cit, Pengantar Ilmu Hukum, h 332

[11] Ibid, h 327

[12]Lop.Cit, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, h 12-14

Read More......

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti


Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti

Dalam Hukum Acara Perdata

A. Teori Pembuktian

  1. Pendahuluan

Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata.

Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil.[1]

Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.[2]

Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.

  1. Pengertian Pembuktian/membuktikan

”Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:[3]

a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah

Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

b) Membuktikan dalam arti konvensionil

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:

- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)

- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis

Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.

Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.[4]

  1. Prinsip-Prinsip Pembuktian

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.[5]

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.[6]

Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :[7]

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.[8] Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.[9]

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW[10], bahwa:

Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”

4. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai.

Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :[11]

a) Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

b) Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)

c) Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).

5. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian

Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.

Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:[12]

a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)

Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.

b) Teori hukum subyektif

Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.

c) Teori hukum obyektif

Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.

d) Teori hukum publik

Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

e) Teori hukum acara

Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.

B. Alat-Alat Bukti

Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu[13] :

1. Surat-surat

2. Kesaksian

3. persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;

  1. Surat-Surat[14]

Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.

Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).

Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.

Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.

Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.

Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.

  1. Kesaksian[15]

Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.

Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.

Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.

Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.

Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.

  1. Persangkaan[16]

Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.

Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).

Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.

Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.

  1. Pengakuan[17]

Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.

Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.

Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.

Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.

  1. Sumpah[18]

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed).

Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya perkara.

Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.

Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat ”mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.

Daftar Pustaka

  • R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII
  • R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2005, Cet. XXV
  • Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005, Cet. X
  • R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1995
  • Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, Yogyakarta: Liberty, 2006, Cet. I

Read More......

Sengketa Yurisprudensi Dengan Peraturan

Sengketa Yurisprudensi Dengan Peraturan

Perundang-Undangan

A.Permasalahan

Sangat dimungkinkan terjadi sengketa antara suatu yurisprudensi dengan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Contoh: ketentuan pasal 40 KHI. Yang melarang perkawinan beda agama. Tetapi putusan Mahkamah Agung nomor: 1400/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 membolehkan perkawinan beda agama, dan memerintahkan kepada pegawai pencatatan pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Voni Ghani (Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen).

Meskipun KHI bukan bertaraf Undang-undang, tetapi dari segi teknis dan formil dia dapat digolongan Statue Law, karena secara teknis KHI dikodifikasi dan secara formil dikukuhkan oleh Inpres No.1 Tahun 1991.

Contoh lain mengenai jual beli tanah. Sebelum berlaku UUPA dan PP No. 10 tahun 1961, yurisprudensi membenarkan keabsahan jual-beli tanah didasarkan atas kesepakatan harga dan tanah yang menjadi objek jual-beli meskipun jual-beli dilakukan dibawah tangan, terutama hal ini dulu berlaku atas tanah yang berstatus hukum adat. Sekarang timbul masalah. Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA jo. Pasal 19 PP No. 10 tahun 1961 pemindahan hak baik dalam bentuk jual-beli dilakukan didepan PPAT, dan oleh karena itu dibuat akta PPAT.

Dengan demikian telah terjadi saling bertentangan antara yurispredensi dengan ketentuan hukum perundang-undangan. Bagaimana pandangan mengenai hal tersebut akan dibahas berikut ini.

B. Dalam Kaidah Umum (pada sistem hukum Indonesia), Undang-Undang Dimenangkan

Sikap atau tindakan yang utama menghadapi pertentangan antara yurisprudensi dengan undang-undang sedapat mungkin berpegang kepada prinsip:

“ Yurisprudensi menundukkan diri kepada undang-undang yang berlaku”

Jadi, undang-undang lebih didahulukan dibanding yurisprudensi atau “Statue Law Prevail”. Alasannya adalah pada negara yang menganut Statue Law System seperti Indonesia, pada dasarnya hanya peraturan perundang-undangan saja yang memiliki legitimasi formil berdasarkan ketatanegaraan. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataan praktik, diketahui peran dan kewenangan badan-badan peradilan untuk bertindak sebagai “Judge Make Law” yang menciptakan lahirnya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, namun kedudukan formilnya tetap berada dibawah hukum perundang-undangan. Pengakuan yurisprudensi sebagai sumber hukum, memang dilihat dari sudut teori ilmu hukum secara hierarkis tetap ditempatkan dibawah hukum perundang-undangan. Jadi jelas bahwa baik dari sudut ketatanegaraan maupun doktrin ilmu hukum, kedudukkan formil undang-undang lebih unggul dari yurispridensi.

C. Kaidah Dalam Kasus Dimenangkan Yurisprudensi

Tidak selamanya asas Statue Law Prevail ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan Yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasustik, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai hukum yang terjadi.

Mekanisme yang ditempuh oleh hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan.

1) Didasarkan pada alasan kepatutan dan kepentingan umum.

Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan bahwa yurisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai hukum dan keadilannya dari peraturan pasal undang-undang, mesti didasarkan atas ”kepatutan” dan ”perlindungan kepentinggan umum”. Hakim harus mengguji dan mengganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam yuriprudensi yang bersangkutan jauh lebih pontensial bobot kepatutannya dan perlindungannya terhadap kepentingan umum dibanding dengan nilai-nilai yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini agar dapat dilakukan komparasi analisis yang terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan profesionalisme. Tanpa modal tersebut sangat sulit seorang hakim berhasil menyingkirkan suatu pasal undang-undang.

2) Cara mengunggulkan Yurisprudensi melalui ”Contra Legem

Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi secara komparatif analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih pontensial menegakkan kelayakan dan perlindungan kepentingan umum, dibandingkan suatu ketentuan pasal undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi.

Berbarengan dengan itu hakim langsung melakukan tindakan ”contra legem” terhadap pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan.

Disebabkan nilai bobot yurisprudensi lebih pontensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum, undang-undang yang disuruh mundur dengan cara contra legem, sehingga yurusprudensi yang sudah mantap ditegakkan sebagai dasar dan rujukan hukum penyelesaian perkara.

3) Yurisprudensi dipertahankan dengan melenturkan peraturan perundang-undangan.

Cara penerapan lain dalam masalah terjadinya peertentangan antara yurisprudensi dengan ketentuan perundang-undangan :

§ Tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi; dan

§ Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal perundang-undangan yang bersangkutan diperlunak dari sifat imperatif menjadi fakultatif (Paulus, Yurisprudensi dalam Perspektif Pembangunan hukum administrasi negara, 1995)

Memang ada kemiripan cara ini dengan tindakan contra legem, tetapi ada perbedaan. Penerapan contra legem pasal yang bersangkutan disingkirkan secara penuh. Keberadaan pasal itu didalam perundang-undangan sama sekali tidak ada. Lain halnya dengan tindakkan mempertahankan yurisprudensi yang dibarenggi dengan tindakan memperlunak pasal perundang-undangan. Dalam hal ini yurisprudensi tidak secara penuh melemparkan nilai yang tekandung dalam pasal, tetapi hanya diperlunak dari sifat imperatif menjadi bersifat fakultatif.

Read More......