Thursday, March 20, 2008

Qadhi al-Qudhat

QADHI al-QUDHAT

  1. Hubungan Hakim dan Kepala Negara[1]

Kepala Negara harus mengangkat hakim-hakim untuk menyelesaikan perkara. Mengangkat hakim adalah fardhu, baik yang mengangkat itu kepala Negara sendiri, ataupun salah seorang pembantunya yang bertugas mengurusi hal ini.

Kedudukan hakim sebagai wakil kepala Negara tidak menghalanginya untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi antara kepala Negara dan rakyatnya yang mengadukannya.

Bahkan dalam sejarah kita menyaksikan Amirul Mukmimin Ali bin Abi Thalib, pernah diadukan oleh seorang yahudi kepada Qadhi Syuraih, sedangkan Syuraih adalah hakim yang diangkat Ali. Dalam perkara tersebut Ali dikalahkan karena bukti-bukti menguntungkan seorang yahudi tersebut.

  1. Kepala Negara Yang Sah Menggangkat Hakim[2]

Pengangkat hakim sah dilakukan oleh kepala Negara yang adil maupun yang tidak adil, apabila hakim itu diharuskan memutuskan perkara-perkara secara benar dan kepala Negara itu tidak campur tangan. Apabila tidak demikian, maka tidak layak seseorang menjadi hakim dari penguasa-penguasa yang tidak adil.

Hakim yang diangkat penguasa yang fasik dan mengintervensi lembaga peradilan. Maka keputusan yang dijatuhkan oleh hakim selama ia dalam tekanan penguasa yang fasik itu dianggap sah. Tetapi apabila keadaan telah berubah, pemerintahan dipegang oleh orang yang adil, hakim dapat mengulangi pemeriksaan dan membatalkan hukuman yang telah diberikan sebelumnya.

  1. Pengangkatan dan pemecatan Hakim[3]

Hakim harus diangkat oleh kepala Negara atau wakilnya. Tidak sah seorang hakim mengangkat dirinya sendiri. Demikian pula tidak sah penduduk suatu daerah mengangkat sendiri hakimnya, tanpa ada persetujuan dari kepala Negara.

Kepala Negara atau wakilnya dapat memecat hakim yang telah diangkat olehnya, apabila hakim tersebut telah terbukti salah bertindak. Apabila hakim tidak berbuat kesalahan mazhab Syafi’I berpendapat janganlah hakim dipecat tanpa sebab, dengan alasan karena hakim tersebut telah diangkat untuk kemaslahatan umat, dan pengangkatannya berpautan padanya hak umat. Oleh karena itu penguasa atau wakilnya tidak dapat memecat hakim seenaknya.

  1. Institusi Qadhi al-Qudhat[4]

Para hakim dimasa Rosulullah SAW diangkat langsung oleh Rasul dan dimasa Khulafaur Rasyidin diangkat pula oleh khalifah sendiri, ataupun diserahkan pengangkatannya kepada para gubernur.

Pada masa itu para hakim berdiri sendiri, belum ada seorang koordinator yang mengkoordinir antara mereka. Karenanya tidak ada bagi seorang hakim kekuasaan terhadap hakim yang lain. Semua hakim dianggap sejajar, baik hakim yang ditempatkan di ibukota maupun hakim yang ditempatkan didaerah-daerah, tidak ada jenjang hierarki diantara kedudukan para hakim. Hal ini berlaku sampai zaman dinasti Bani Umayah.

Dimasa kekuasaan dinasti Bani Abbas, pada saat kekhalifahan dipegang oleh Harun al Rasyid barulah dicetuskan institusi Qadhi al-Qudhat. Harun al Rasyid mengangkat seseorang yang dianggap cakap dan diserahkan kepadanya urusan peradilan dan dialah wakil kepala Negara untuk mengangkat hakim-hakim didaerah.

  1. Orang yang Pertama Memegang jabatan Qadhi al-Qudhat [5]

Orang yang pertama menjabat jabatan Qadhi al-Qudhat adalah Abu Yusuf dan beliau pertama kali yang menentukan pakaian toga hakim, seorang murid Imam Abu hanifa yang berperan dalam menyusun ushul fiqh menurut mazhab Hanifa dan sangat berperan menyebarkan ilmu Abu Hanifa kesegenap daerah Islam.

Kebanyakan ulama Hanafiyah menggolongan Abu Yusuf kedalam golongan mujtahid mazhab. Akan tetapi golongan ahli tahqiq mengolongkan menggolongkan beliau kegolongan mujtahid mutlaq dan beliau tidak membentuk mazhab sendiri karena sangat menghormati gurunya.

Pada saat Abu Hanifa diminta untuk menjadi hakim, Abu Yusuf bermusyawarah dengan murid-murid Abu Hanifa yang lain. Abu yusuf dan teman-temannya menganjurkan supaya Abu Hanifa menerima jabatan itu tetapi Abu Hanifa tetap menolak. Sesudah Abu Hanifa meninggal, barulah Abu Yusuf menerima jabatan hakim.

Beliaulah yang mengangkat ulama-ulama bermazhab Hanafi untuk menjadi hakim-hakim didaerah, hal ini pula yang menjadi faktor meluasnya penganut mazhab Hanafi dinegeri-negeri Islam.

Konon setelah Harun al- Rasyid mengangkat Abu Yusuf sebagai Qadhi-al Qudhat, Harun Al-Rasyid tidak pernah lagi mengangkat hakim tanpa meminta nasehat dari Abu Yusuf.

  1. Tugas Instiutusi Qadhi al-Qudhat[6]

Qadhi al-Qudhat selain bertugas mengangkat hakim-hakim juga berwenang memecat hakim dan menerima permintaan hakim yang ingin mengundurkan diri, juga mengurusi urusan administrasi. Qadhi al-Qudhat juga memberikan pengawasan kepada para hakim, bawahannya. Sekilas peran ini serupa dengan Menteri kehakiman dizaman komtemporer saat ini.

Tugas lainya institusi ini juga meneliti keputusan-keputusan hakim-hakim dibawahnya bahkan mempunyai hak untuk membatalkan keputusan hakim-hakim didaerah. Sekilas seperti peran Mahkamah Agung saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddiqi, T.M. Hasbi , Sedjarah Peradilan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Ash shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Utama. 2001.

Hudhari bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Semarang: Darul Ihya, 1980


[1] T.M. Hasbi Ash Shiddiqi, Sedjarah Peradilan Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 57

[2] Ibid, hal 56

[3]Hasbi Ash shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam(Semarang: PT. Pustaka Rizki Utama. 2001), hal 49-50

[4] Ibid, hal 52-53

[5] Hudhari bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami(semarang: Darul Ihya, 1980), hal 412

[6] Op. Cit, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hal 53

No comments: