Showing posts with label Ushul Fiqh. Show all posts
Showing posts with label Ushul Fiqh. Show all posts

Friday, March 21, 2008

Amar dan Nahi

AMAR DAN NAHI

Telah ditetapkan bahwa hukum syar’i itu adalah Kitab (titah) Allah, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Kitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk yaitu tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah (amar) dan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan yang disebut dengan larangan (nahi).

A. Amar

Amar dapat dilihat dari beberapa segi, antara yang satu dengan lainnya saling berkaitan; 1. Hakikatnya, 2. Definisinya, 3. Ucapan yang digunakan, 4. Penunjukkannya.

  1. Hakikat Amar

Kata amar banyak terdapat dalam al-Qur’an. Ada yang mengandung arti “ucapan” atau “perkataan”. Contohnya firman Allah dalam surat Thaha ayat 132

132. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat …..

Ada juga kata amar yang tidak mengandung arti ucapan; diantaranya seperti untuk “sesuatu” atau “urusan” atau “perbuatan”. Beberapa arti amar dapat dilihat dalam contoh-contoh ayat di bawah ini;

Surat al-Syura: 38

38. … urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka....

Amar dalam ayat ini mengandung arti “urusan”

Surat Ali Imran: 159

159. …dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam segala sesuatu …

Amar dalam ayat ini mengandung arti “sesuatu”.

Surat al-Thalaq: 9

Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.

Amar dalam ayat ini mengandung arti “perbuatan”

  1. Definisi Amar

Dalam setiap kata amar mengandung tiga urusan, yaitu:

Ø Yang mengucapkan kata amar atau yang disuruh

Ø Yang dikenai kata amar atau yang disuruh

Ø Ucapan yang digunakan dalam suruhan itu

Perbincangan mengenai hal definisi amar ada perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul dalam merumuskannya:

· Diantara ulama, termasuk ulama mu’tazilah mensyaratkan bahwa kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Kalau kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh, maka tidak dapat disebut amar, tetapi disebut “doa”, seperti disebutkan dalam al-Qur’an Surat Nuh: 28

28. Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, …

· Sebagian besar ulama, termasuk Qodhi Abu Bakar dan Imam Haramain mendefinisikan amar sebagai berikut:

Suatu ucapan yang menuntut kepatuhan dari yang menyuruh untuk mengerjakan suatu perkataan yang disuruhnya.”

  1. Sighat Amar

Dikatakan ulama ushul diperbincangan tentang apakah dalam menggambarkan amar (menuntut orang mengerjakan sesuatu) ada ucapan yang dikhususkan untuk itu, sehingga dengan ucapan itu akan diketahui bahwa maksudnya adalah perintah untuk berbuat. Atau untuk amar itu tidak ada kata khusus, tetapi untuk mengerjakan sebagai suruhan tergantung kepada kehendak orang yang menggunakan kata amar itu.

Dalam hal ini terdapat perbedaana dikalangan ulama :

1. Banyak ulama ushul fiqh berpendapat bahwa untuk tujuan menyuruh (amar) itu ada ucapan tertentu dalam penggunaan bahasa, sehingga tanpa ada qarinah apapun kita dapat mengetahui bahwa maksudnya adalah perintah.

2. Abu al-Hasan (dari kalangan ulama mu’tazilah) berpendapat bahwa amar itu tidak dinamakan amar dengan semata melihat kepada lafadnya, tetapi dapat disebut amar, karena ada kehendak dari orang yang menyuruh untuk melakukan perbuatan itu.

3. Abul Hasan dari kalangan ulama al-Asy’ariah ia berpendapat bahwa amar itu tidak mempunyai sighat tertentu.

4. Amar dari Segi Dilalah (penunjukan) dan Tuntutannya

Setiap lafadz amar menunjuk kepada dan menuntut suatu maksud tertentu. Maksud tersebut dapat diketahui dari sighat lafadz itu sendiri. Berikut adalah diantara bentuk tuntutan dari kata amar:

  1. Untuk hukum wajib, artinya lafadz amar itu menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafadz itu. Umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa: 77;

77. …Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" ..

Amar di dalam ayat ini menimbulkan hukum wajib meskipun tanpa qarinah yang mengarahkannya untuk itu.

  1. Untuk hukum nadb atau sunnat, artinya hukum yang timbul dari amar itu adalah nadb, bukan untuk wajib. Contohnya dalam surat al-Nur: 33

hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka,

Lafadz kitabah, yaitu kemerdekaan dengan pembayaran cicilan yang disuruh dalam ayat tersebut, menimbulkan hukum nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu, maka tidak ada ancamannya apa-apa.

B. Nahi

  1. Definisi Nahi

Pembicaraan ulama dalam pembahasan tentang “amar” yang menyangkut hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan kedudukan yang memberikannya, berlaku pula dalam pembicaraan tentang “nahi” (larangan)[1]. Apabila dalam nash syara’ terdapat lafazd khos dalam bentuk larangan, atau bentuk berita yang mengandung pengertian larangan, maka lafadz itu memberi pengertian haram, artinya tuntutan menahan sesuatu yang dilarang dengan pasti. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Baqarah: 221

..Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. …

Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa haram seorang lelaki muslim mengawini wanita musyrik sampai ia beriman[2].

Jadi, definisi Nahi adalah:

“Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, tidak menggunakan ‘Tinggalkanlah’, atau yang sejenisnya.”

  1. Hakikat Nahi

Memang dalam al-Qur’an terdapat beberapa kemungkinan maksud dari larangan. Untuk apa sebenarnya (hakikat) nahi itu dalam pengertian lughawi? Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama, yaitu:

  1. Jumhur ulama yang berpendapat bahwa hakikat asal nahi itu adalah untuk haram dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil lain yang menunjukkannya. Dalam hal ini Jumhur ulama mengemukakan sebuah kaidah yang populer:

Asal dari larangan adalah untuk hukum haram

  1. Ulama Mu’tazilah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk nadb (sunnat), dan berpendapat bahwa nahi itu menimbulkan hukum karahah (makruh). Berlakunya untuk haram tidak diambil dari larangan itu sendiri tetapi karena ada dalil lain yang memberi petunjuk
  1. Hubungan Timbal Balik Antara Amar dan Nahi

Amar tentang sesuatu berarti tuntutan mengerjakan sesuatu itu. Sedangkan nahi atas sesuatu berarti tuntutan menjauhi sesuatu itu. Apabila suatu perbuatan disuruh untuk dikerjakan apakah berarti sama dengan kebalikannya berupa larangan untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain, apakah amar tentang sesuatu sama dengan nahi terhadap lawan sesuatu itu.

Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai bentuk lawan dari suatu kata. Bentuk pertama adalah lafadz yang hanya mempunyai satu lawan kata. Bentuk yang seperti ini disebut (alternatif). Umpamanya lawan kata bergerak adalah diam. Bentuk kedua adalah lafadz yang lawan katanya lebih dari satu, disebut (kontradiktif). Umpamanya, lawan kata berdiri adalah duduk, bertaring, jongkok dan sebagainya.

1. Segolongan ulama, diantaranya ulama Hambali, berpendapat bahwa bila datang larangan mengerjakan satu perbuatan dan ia hanya mempunyai satu lawan satu kata, berarti disuruh melakukan lawan kata dari segi artinya. Misalnya, dilarang bergerak berarti disuruh untuk diam. Bila lawan kata dari yang dilarang itu banyak berarti disuruh melakukan salah satu dari lawan katanya. Mereka mengemukakan alasan bahwa bila dilarang melakukan sesuatu perbuatan berarti wajib meninggalkannya dan tidak mungkin meninggalkannya kecuali dengan cara melakukan salah satu diantara lawan-lawan kata tersebut.

2. Banyak ulama, diantaranya Imam Haramain, al-Ghazali, al-Nawawi, al-Jufani dan lainnya berpendapat bahwa amar nafsi (tentang sesuatu yang tertentu), baik hukumnya wajib atau nadb bukanlah berarti larangan mengerjakan lawan sesuatu itu dan juga tidak merupakan kebiasaan bagi lawannya baik larangan itu menghasilkan hukum haram/karahah, baik lawan kata itu satu atau lebih dari satu.[3]


[1] Amir Syarifuddin., Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) Cet.3, hal. 159

[2] Abdul Wahab Khalaf., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Gema Insani Risalah Press, 1997). Cet. 2, hal. 351

[3] Amir Syarifuddin., Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000). Cet.3.hal 2001.

Read More......

Wednesday, August 29, 2007

Maqasidul Syariah

MAQASID SYARIAH

A . Pendahuluan[1]

Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW sebagai sumber utama hukum Islam selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga dengan ruh tasryi’ atau Maqasid Syari’at.

Melalui Maqasid Syari’ah inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan–permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah. Pengembangan ini dengan menggunakan metode istimbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang juga disebut sebagai dalil.

B. Pengertian Maqasid Syari’ah[2]

Maqasid Syaria’ah ialah tujuan Allah dan Rosul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rosullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

C. Macam-Macam Maqasid Syaria’ah

Maqasid Syaria’ah yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.

Kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan kelima hal ini. Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut[3]:

1) Memelihara Agama (al-Muhafazhah ala al-Diin)

Agama merupakan keharusan bagi manusia, dengan nilai-nilai kemanusiaaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab keagamaan adalah ciri khas manusia.

Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah itu dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan.

2) Memelihara Jiwa (al-Muhafazhah ala an-Nafs)

Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan pengganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakkan melukai.

Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa. Atau, berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik, karenanya Islam melindungi kebebasan berkarya (berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan menegakan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat serta bebas bergerak ditengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain.

3) Memelihara Akal (al-Muhafadzah ala al-‘Aql)

Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat prefentif yang dilakukan syariat Islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya. Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal.

4) Memelihara Keturunan (al-Muhafadzah ala an-Nasl)

Ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.

5) Memelihara Harta (al-Muhafadzah ala al-Mal)

Mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya ghashab, pencurian. Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan serta mengatur berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara yang halal, bukan mendominasi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.

D. Tingkatan Maqasid Syaria’ah

Maslahat/Maqasid Syari’ah sebagaimana terumuskan dalam kelima segi diatas tidak berada pada satu martabat (tingkatan). Akan tetapi menurut penelitian Abu Ishaq al-Syatibi terbagi menjadi tiga martabat (tingkatan) [4]antara lain:

1) Kebutuhan Dharuriyat (Primer)[5]

Ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Zakaria al-Biri menyebutkan bahwa maslahat dharuriyat ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan muncul fitnah dan bencana yang besar.

Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.

Imam al-Ghazali menerangkan:

Memelihara kelima hal tersebut termasuk kedalam tingkatan dharuriyat. Ia merupakan tingkatan maslahat yang paling kuat. Diantara contoh-contoh nya, syara’ menetapkan hukuman mati atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan menghukum penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena hal demikian mengganggu kehidupan masyarakat dalam mengikuti kebenaran agamanya; memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum khamar, karena dengan demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi taklif; mewajibkan had zina, karena dengan hal itu dapat memelihara nasab (keturunan); mewajibkan mendera pembongkar kuburan dan pencuri, karena dengan demikian dapat memelihara harta yang menjadi sumber kehidupan dimana mereka sangat memerlukannya.”

Secara umum, menghindari setiap perbuatan yang menggakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury (prinsip). Syariat Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu bagi orang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan minum arak.

2) Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)

Ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan, kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut.

Dalam lapangan ibadah Islam, mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringganan) bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam memperbolehkan tidak berpuasa dalam perjalankan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari lain begitu pula untuk orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah juga dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.

Didalam lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang dibutuhkan manusia, seperti akad muzara’ah, salam, murabahab, dan mudharabah.

Dilapangan ’uqubah (sanksi hukum), islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak disengaja.

Perlu ditegaskan bahwa termasuk dalam katagori hajjiyat adalah memelihara kebebasan individu dan kebebasan beragama. sebab manusia membutuhkan kedua kebebasan ini. Akan tetapi terkadang manusia menghadapi kesulitan. Termasuk hajjiyah dalam keturunan, ialah diharamkan berpelukan. Sedang hajjiyat dalam hal harta, seperti diharamkan ghasab dan merampas, keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin untuk diambil kembali, sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan hajjiyat yang berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum khamar walau hanya sedikit.

3) Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap)

Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan.

Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia.

Dalam lapangan ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat seperti islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan banyak ibadah sunnah.

Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli dan lain-lain.

Dalam lapangan ’uqubah islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita dalam peperangan, serta melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan)

Diantara contoh tahsinat yang berkaitan dengan memelihara harta adalah diharamkan menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Sebab hal ini berlawanan kepentingan dengan keingginan membelanjakan harta secara terang dan jelas, serta keinginan memperoleh gambaran yang tepat tentang untung rugi. Jelaslah kiranya hal ini tidak membuat cacat terhadap harta pokok (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang lain yang membelanjakan hartanya.

Contoh tahsinat yang berkenaan denagan memelihara keturunan adalah diharamkan seorang wanita keluar rumah dengan menggenakan perhiasan. Dalam firman Allah:

31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur : 31)

Larangan wanita memakai perhiasan diluar rumah ini termasuk kategori tahsinat, karena memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan tersebut sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat wanita yang pada dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.

Tahsinat dalam kaitan dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan terhadap dakwah yang menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul itiqad), dimana semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah menimbulkan keraguan terhadap ajaran islam. Demikian pula larangan mempelajari kitab-kitab yang sumber-sumber ajaran agama lain bagi orang yang tidak mampu melakukan studi perbandingan secara rasional dan mendalam diantara kebenaran-kebenaran agama.

Sedangkan tahsinat yang berkaitan dengan memelihara akal, contohnya seperti melarang kafir dzimmy meminum dan menjual khamar ditengah masyarakat muslim, walaupun minuman keras tersbut dijual khusus untuk kalangan kafir dzimmi sendiri.

Daftar Pustaka

Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana

Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003

Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003



[1] Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve, hal 292

[2] Prof. DR. H. Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, hal 233

[3] Prof. M Abu Zahrah, Ushul fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet III, 2003, hal 548-552

[4] Drs. Romli SA, M.ag. Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999 hal 157

[5] Prof. M Abu Zahrah, Ushul fiqh. Op.Cit hal 554


Read More......