Thursday, April 10, 2008

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

(al-Masuliyah al-Jinaiyah)

  1. Pengertian

Ahmad Hanafi mengemukakan batasan atau pengertian pertanggung jawaban pidana dalam syari’at Islam ialah pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.[1]

Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal, yaitu: adanya perbuatan yang dilarang, dikerjakan dengan kemauan sendiri, pelakunya mengetahui akibat perbuatan tersebut.

Kalo ketiga hal diatas ada maka terdapat pertanggungjawaban pidana, dan kalau tidak terdapat maka tidak ada pertanggungjawaban pidana.[2]

Menurut Abdul Qader ’Oudah syari’ah menetapkan tangggung-jawab hanya kepada orang hidup yang mempunyai kewajiban. Kematian seseorang membatalkan seluruh responsibilitas dan akuntanbilitas.[3] Syari’ah juga memaafkan perbuatn melanggar hukum dari anak-anak sampai mencapai usia baligh. Hal ini didasarkan firman Allah surah an-Nur ayat 59:

”Dan apabila anak-anakmu Telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

  1. Dasar-Dasar Pertanggung Jawaban

1) Pada Al-Qur’an[4]

a. Surah Al-Muddasir : 38

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya”

b. Surah Al-An’am : 164

“…dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."

c. Surah Al-Baqarah : 134

“…baginya apa yang Telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang Telah mereka kerjakan.”

d. Surah Al-Baqarah : 141

“…baginya apa yang Telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang Telah mereka kerjakan.”

e. Surah Al-Baqarah : 286

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…”

f. Surah An-Nisa : 79

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…”

2) As-Sunah

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ahmad, abu daud dari al-Hakim dan umar bin Khotob, Rosullullah saw bersabda”

Qalam telah diangkat dari tiga macam orang (artinya: mereka tidak diperlakukan sebagai orang-orang mukallaf) yaitu orang-orang gila yang benar-benar telah rusak akalnya, sampai ia sembuh, orang yang tidur, sampai ia bangun, dan anak-anak sampai ia balig”.

Dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW mengenai pertanggung-jawaban (pidana) tersebut terkandung asas tidak memindahkan kesalahan kepada orang lain yang sudah dikenal Islam sejak abad ke-7 Masehi.[5]

  1. Sebab Pertangung Jawaban.

Faktor yang mengakibatkan adanya pertanggung-jawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yakni perbuatan melawan hukum, yaitu mengerjakan perbuatan (larangan) yang dianggap oleh Syari’at atau sikap tidak berbuat yang diharuskan oleh syari’at. Meskipun perbuatan melawan hukum menjadi sebab adanya pertanggun-jawaban pidana, namun diperlukan dua syarat bersama-sama yaitu “mengetahui (ﺇﺪﺮﺍﻚ) dan “pilihan (ﺇﺨﺘﻴﺍﺮ). Kalau salah satu syarat tidak ada, maka tidakada pertanggung-jawaban pidana.[6]

  1. Hapusnya Pertanggung-Jawaban Pidana

Pertanggung-jawaban pidana dapat hapus karena hal-hal yang bertalian dengan perbuatan sendiri atau karena hal-hal yang bertalian dengan keadaan diri pembuat. Dalam keadaan pertama perbuatan yang dikerjakan adalah mubah (tidak dilarang), dan dalam keadaan kedua perbuatan yang dikerjakan tetap dilarang tetapi tidak dijatuhi hukuman.[7]

Hal-hal yang mengakibatkan kebolehan sesuatu perbuatan haram (jarimah) ialah: pembelaan yang sah, pengajaran, pengobatan, permainan olah raga, hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan harta, memakai wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib.[8]

  1. Pembelaan yang sah
    1. Pembelaan khusus (ﺪﻔﻊﺍﻠﺼﺍﺌﻞ, Menolak penyerang)

“Hak (kewajiban) seseorang untuk mempertahankan (melindungi) dirinya atau diri orang lain, atau mempertahankan harta sendiri atau harta orang lain, dengan memakai kekuatan yang diperlukan, dari setiap serangan nyata yang tidak sah”.[9]

Dasar hukum :

Qur’an Surah Al-Baqarah : 194

”...oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.

Hadits

Barang siapa dirampas hartanya tanpa alasan yang benar, kemudian memerangi dan terbunuh, maka ia mati sahid”. (HR abdullah Bin ’Amr)

    1. Pembelaan Umum (ﺃﻤﺮﻤﻌﺮﻮﻒﻨﻌﻰﻤﻜﺮ, menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran).

“Pembelaan untuk kepentingan umum, atau dengan istilah yang lebih terkenal amar ma’ruf dan nahi munkar.”

Dasar hukum ;

Al-Qur’an Ali-Imran : 104

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”

Hadis

“Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran (keonaran), kenudian ia dapat mengubahnya dengan tangannya, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Kalau tidak dapat dengan tangan, maka hendaklah dengan lisanya (mulut). Kalau tidak dapat maka dengan hatinya, dan ini adalah iman yang selemah-lemahnya.” (HR:Abu Sa’id al-Khuduri) [10]

  1. Pengajaran

Orang-orang yang berhak memberikan pengajaran (Ta’dib) ada kalanya suami terhadap istri, orang tua terhadap anaknya.

  1. Pengobatan

Akibat yang logis bagi wajibnya pengobatan ialah bahwa seorang Dokter tidak dituntut (dibebani pertanggung jawaban pidana), karena pekerjaannya dalam lapangan pengobatan, karena menurut aturan pelaksanaan sesuatu perkara wajib tidak terbatas dengan syarat keselamatan pasien.

Pembebasan dari pertanggungjawaban tersebut bila niatan dokter yang baik dan uasaha yang sungguh-sungguh bagi kesehatan si pasien. Antara lain syarat-syarat pembenasan pidana bagi proses pengobatan:[11]

- Orang yang melakukan pengobatan adalah dokter (tenaga medis).

- Pekerjaannya dimaksud untuk mengobati dan didasarkan atas niatan yang baik.

- Pekerjaannya didasarkan aturan/prosedur/ilmu kedokteran.

- Disetujui oleh pasien atau orang yang menjadi wakilnya.

  1. Olah Raga

Syari’at Islam menjujung tinggi dan memperbolehkan jalan untuk menguatkan badan, menyegarkan pikiran dan membengkitkan keberanian serta kepahlawanan, dengan mengikuti semua cabang olah raga.

Permainan olah raga boleh jadi akan mengakibatkan luka-luka, baik bagi yang bermain olahraga ataupun bagi oramg lain (semisal; wasit). Kalau luka-luka tersebut timbul dari permainan kekuatan dan kekerasan antara pihak-pihak yang bermain olahraga atau yang mestinya tidak perlu melukai, maka keadaan tersebut seuai aturan syari’at yang umum, karena keadaan tersebut tidak merupakan keharusan permainan olahraga. Kalau disengaja maka dianggap jarimah disengaja, dan kalau terjadi akibat kelalaian dan kekeliruan maka dianggap sebagai jarimah tidak disengaja.

Untuk permainan olahraga yang memerlukan pemakaian kekuatan terhadap lawan, seperti tinju, maka luka-luka yang timbul darinya tidak dikenakan hukuman, jika tidak melebihi batas-batas yang ditentukan.

  1. Hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan harta

Yang dimaksud sengan hapusnya jaminan keselamatan di sini ialah bolehnya diambil tindakan terhadap jiwa seseorang atau anggota-anggota badannya, dan oleh karena itu maka ia bisa dibunuh atau dianiaya. Tindakan tersebut bisa diadakan apabila dasar-dasar adaya keselamatan jiwa atau anggota badan telah hapus. Dasar-dasar tersebut adalah iman (Islam) dan jaminan sementara atau seumur hidup.

Dengan demikian maka jaminan keselamatan bagi seseorang menjadi hapus apabila ia murtad dan bagi kafir ziimi menjadi hapus dengan berakhirnya mmasa perjanjian yang telah diberikan kepada mereka atau karena mereka melanggar (tidak menepati) ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut.

Dan hapusnya jaminan keselamatan jiwa juga dikenakan kepada seseorang yang melakukan jarimah hudud, qisas diyat yang ancamannya hukuman mati atau pemotongan anggota badan. [12]

Daftar Pustaka

Hanafi, Ahmad,, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. 6, Jakarta: Bulan Bintang, 2005

Oudah , Abdul Qader, Criminal Law of Islam, Vol 2, Improved Edition,

New Delhi: Kitab Bhavan, 1999

Djubaedah, Neng, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2005

Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syari’iyah Etika Politik Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2005


[1] Ibid hal : 119

[2] Ibid

[3] Abdul Qader ‘Oudah, Criminal Law of Islam, Vol 2, Improved Edition, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1999), pp. 82, 94-95

[4] Neng Djubaedah, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2005), hal 69

[5] Ibid hal : 71

[6] Ahmad Hanafi, Op. Cit, hal : 122

[7] Ibid hal : 157

[8] Ibid

[9] Ibid hal : 158

[10] Ibid hal : 164

[11] Ibid hal : 172

[12] Ibid hal : 175-178


No comments: