Wednesday, August 29, 2007

Maqasidul Syariah

MAQASID SYARIAH

A . Pendahuluan[1]

Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW sebagai sumber utama hukum Islam selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga dengan ruh tasryi’ atau Maqasid Syari’at.

Melalui Maqasid Syari’ah inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan–permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah. Pengembangan ini dengan menggunakan metode istimbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang juga disebut sebagai dalil.

B. Pengertian Maqasid Syari’ah[2]

Maqasid Syaria’ah ialah tujuan Allah dan Rosul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rosullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

C. Macam-Macam Maqasid Syaria’ah

Maqasid Syaria’ah yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.

Kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan kelima hal ini. Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut[3]:

1) Memelihara Agama (al-Muhafazhah ala al-Diin)

Agama merupakan keharusan bagi manusia, dengan nilai-nilai kemanusiaaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab keagamaan adalah ciri khas manusia.

Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah itu dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan.

2) Memelihara Jiwa (al-Muhafazhah ala an-Nafs)

Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan pengganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakkan melukai.

Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa. Atau, berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik, karenanya Islam melindungi kebebasan berkarya (berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan menegakan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat serta bebas bergerak ditengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain.

3) Memelihara Akal (al-Muhafadzah ala al-‘Aql)

Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat prefentif yang dilakukan syariat Islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya. Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal.

4) Memelihara Keturunan (al-Muhafadzah ala an-Nasl)

Ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.

5) Memelihara Harta (al-Muhafadzah ala al-Mal)

Mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya ghashab, pencurian. Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan serta mengatur berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara yang halal, bukan mendominasi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.

D. Tingkatan Maqasid Syaria’ah

Maslahat/Maqasid Syari’ah sebagaimana terumuskan dalam kelima segi diatas tidak berada pada satu martabat (tingkatan). Akan tetapi menurut penelitian Abu Ishaq al-Syatibi terbagi menjadi tiga martabat (tingkatan) [4]antara lain:

1) Kebutuhan Dharuriyat (Primer)[5]

Ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Zakaria al-Biri menyebutkan bahwa maslahat dharuriyat ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan muncul fitnah dan bencana yang besar.

Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.

Imam al-Ghazali menerangkan:

Memelihara kelima hal tersebut termasuk kedalam tingkatan dharuriyat. Ia merupakan tingkatan maslahat yang paling kuat. Diantara contoh-contoh nya, syara’ menetapkan hukuman mati atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan menghukum penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena hal demikian mengganggu kehidupan masyarakat dalam mengikuti kebenaran agamanya; memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum khamar, karena dengan demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi taklif; mewajibkan had zina, karena dengan hal itu dapat memelihara nasab (keturunan); mewajibkan mendera pembongkar kuburan dan pencuri, karena dengan demikian dapat memelihara harta yang menjadi sumber kehidupan dimana mereka sangat memerlukannya.”

Secara umum, menghindari setiap perbuatan yang menggakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury (prinsip). Syariat Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu bagi orang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan minum arak.

2) Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)

Ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan, kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut.

Dalam lapangan ibadah Islam, mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringganan) bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam memperbolehkan tidak berpuasa dalam perjalankan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari lain begitu pula untuk orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah juga dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.

Didalam lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang dibutuhkan manusia, seperti akad muzara’ah, salam, murabahab, dan mudharabah.

Dilapangan ’uqubah (sanksi hukum), islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak disengaja.

Perlu ditegaskan bahwa termasuk dalam katagori hajjiyat adalah memelihara kebebasan individu dan kebebasan beragama. sebab manusia membutuhkan kedua kebebasan ini. Akan tetapi terkadang manusia menghadapi kesulitan. Termasuk hajjiyah dalam keturunan, ialah diharamkan berpelukan. Sedang hajjiyat dalam hal harta, seperti diharamkan ghasab dan merampas, keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin untuk diambil kembali, sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan hajjiyat yang berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum khamar walau hanya sedikit.

3) Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap)

Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan.

Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia.

Dalam lapangan ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat seperti islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan banyak ibadah sunnah.

Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli dan lain-lain.

Dalam lapangan ’uqubah islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita dalam peperangan, serta melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan)

Diantara contoh tahsinat yang berkaitan dengan memelihara harta adalah diharamkan menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Sebab hal ini berlawanan kepentingan dengan keingginan membelanjakan harta secara terang dan jelas, serta keinginan memperoleh gambaran yang tepat tentang untung rugi. Jelaslah kiranya hal ini tidak membuat cacat terhadap harta pokok (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang lain yang membelanjakan hartanya.

Contoh tahsinat yang berkenaan denagan memelihara keturunan adalah diharamkan seorang wanita keluar rumah dengan menggenakan perhiasan. Dalam firman Allah:

31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur : 31)

Larangan wanita memakai perhiasan diluar rumah ini termasuk kategori tahsinat, karena memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan tersebut sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat wanita yang pada dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.

Tahsinat dalam kaitan dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan terhadap dakwah yang menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul itiqad), dimana semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah menimbulkan keraguan terhadap ajaran islam. Demikian pula larangan mempelajari kitab-kitab yang sumber-sumber ajaran agama lain bagi orang yang tidak mampu melakukan studi perbandingan secara rasional dan mendalam diantara kebenaran-kebenaran agama.

Sedangkan tahsinat yang berkaitan dengan memelihara akal, contohnya seperti melarang kafir dzimmy meminum dan menjual khamar ditengah masyarakat muslim, walaupun minuman keras tersbut dijual khusus untuk kalangan kafir dzimmi sendiri.

Daftar Pustaka

Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana

Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003

Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003



[1] Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve, hal 292

[2] Prof. DR. H. Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, hal 233

[3] Prof. M Abu Zahrah, Ushul fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet III, 2003, hal 548-552

[4] Drs. Romli SA, M.ag. Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999 hal 157

[5] Prof. M Abu Zahrah, Ushul fiqh. Op.Cit hal 554


Read More......

Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum Perdata Islam di Indonesia

A. Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia

“Hukum Islam” merupakan terminologi khas Indonesia, jikalau kita terjemahkan langsung kedalam bahasa arab maka akan diterjemahkan menjadi al-hukm al Islam, suatu terminologi yang tidak dikenal dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka padanan yang tepat dari istilah “Hukum Islam” adalah al-fiqh al-Islamy atau al-Syari’ah al-Islamy, sedangkan dalam wacana ahli hukum barat digunakan istilah Islamic law [1].

Sedangkan terminologi ”Hukum Perdata Islam” yang menjadi telaah utama makalah ini dapat penulis uraikan bardasarkan pengertian dari kata-kata penyusunnya, sebagai berikut :

Hukum, adalah seperangkat peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang (negara), dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat, yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa, serta mengikat anggotanya, dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.[2]

Sedangkan Hukum Perdata, adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian didalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota masyarakat[3] dan benda dalam masyarakat. Dalam terminologi Islam istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mua’amalah.

Kemudian frase Hukum Perdata disandarkan kepada kata Islam, Jadi dapat dipahami menurut hemat penulis bahwa ”Hukum Perdata Islam” adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata/mu’amalah yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam (diIndonesia).

Menurut Muhammad Daud Ali[4], ”Hukum Perdata Islam” adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan.

B. Sejarah Belakunya Hukum Perdata Islam di Indonesia

1) Hukum Islam Pada Masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara[5]

Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.

Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.

2) Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat diklasifikasi kedalam dua bentuk, Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.

Pada fase kedua ini Belanda ingin menerapkan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia, yaitu Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap kebijakkan strategiknya yaitu:

- Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927]), teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.

Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya[6]. di nusantara.

3) Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang

Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.

Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begiti signifikan.[7]

4) Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan

Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin[8], setelah kemerdekaan, walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.

Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul. Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a Contrario, yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.[9]

5) Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru

Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan hukum Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat Islam dalam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut DR. Amiiur Nurudin bertubrukan denagn strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan pembicaraan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan.

Namun dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum Perdata Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal, walaupun didapat dengan perjuangan keras umat Islam. Diantaranya oleh Ismail Sunny[10] coba diskrisipsikan secara kronologis berikut ini :

a) Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi pemeluk agama lainnya.

Dengan UU No. 1 tahun 1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan bahwa Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.

b) Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan penting dan mendasar dalam lingkungan PA. Diantaranya:

- PA telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

- Nama, susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.

- Terlaksananya ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.

- Terlaksanya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab Bhineka Tunggal ika dalam UU PA.

c) Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI)

Seperti diuraikan diawal makalah ini bahwa sejak masa kerajaan-kerajan Islam di nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hokum khusus sebagai pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi.

Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum Perwakafan (BUKU III)

Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya KHI tersebut.

Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam.

6) Hukum Islam Pada Masa Reformasi

Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat Islam bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Mereka giat memperjuangkan aspirasi umat Islam terrmasuk juga memperjuangkan bagaimana hukum Islam ikut juga mewarnai proses pembanguanan hukum nasional.

Diantara produk hukum yang positif diera reformasi sementara ini yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain adalah

- Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

- Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

- RUU tentang Perbankan Syariah yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Daftar Pustaka

Nurudin, Amiur dan A Tarigan , Hukum Perdata Islam diIndonesia, Jakarta: Kencana, 2004

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2003

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: sinar grafika, 2004

Subekti, Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005

Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid 1, Bandung: Ulul Albab Pres, 1997

Tim Penyusun, Peradilan Agama di Indonesia; Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukkan Undang-Undangnya, Jakarta DEPAG, 2001

UU no. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

UU no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf



[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h 3

[2] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), h 38

[3] Ibid, h 200

[4] Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid 1, (Bandung: Ulul Albab Pres, 1997), h 73

[5] Amiur Nurudin dan Azhari A Tarigan, Hukum Perdata Islam diIndonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h 8

[6] Ibid, h 14

[7] Ibid, h 14

[8] Ibid, h 17-19

[9] Ahmad Rofiq, Op. cit h 20

[10] Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid .Op. cit h 43-47

Read More......

Dinar Dirham Sebagai Alat Kebijakkan Moneter

DINAR-DIRHAM SEBAGAI ALAT KEBIJAKAN MONETER

1. Pendahuluan

Dinar emas dan Dirham perak serta uang bantu Fulus yang dibuat dari tembaga yang sering kita kenal didalam buku-buku dongeng 1001 malam merupakan mata uang yang berlaku pada zaman Rosulullah SAW[1] hingga masa berakhirnya Dinasti Ustmaniyah [2] setelah perang dunia pertama.

Mata uang tersebut terus digunakan hingga muncul mata uang kertas paper money, tepatnya tahun 1924, semejak itu banyak negara didunia termasuk negara-negara muslim tidak membenarkan lagi penduduknya melakukan transaksi menggunakan emas dan perak sebagai dasar mata uang.[3]

Sebenarnya mata uang Dinar pada awalnya dicetak oleh kekaisaran Romawi sedangkan Dirham oleh Persia. Nabi SAW sepanjang kehidupannya tidak pernah merekomendasikan perubahaan apapun terhadap mata uang tersebut. Artinya, Nabi dan para sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya membenarkan pratek ini. Dalam ulumul hadits hal ini disebut hadits af’al dan taqrir, yaitu jenis hadist yang tidak diucapkan, tetapi dilakukan atau penetapan oleh Nabi. Ini yang membuat ulama berijtihad bahwa sistem mata uang emas-perak adalah sistem mata uang yang benar.[4]

Kemilau Dinar-Dirham mengingatkan umat islam untuk segera tersadar dari keterlenaan panjang, sehingga tidak terpuruk terlalu lama di bawah dominasi negara-negara barat. Berawal dari fatwa penting dan bersejarah mengenai pelarangan pemakaian uang kertas oleh Umar Ibrahim Vadillo pada tahun 1991, yang kemudian beliau memulai pencetakkan mata uang Dinar dan Dirham pada tahun 1992 serta mendirikan World Islamic Mint (WIM).[5]

Dalam perdagangan internasional antara negara-negara islam penggunaan mata uang ini dapat menjadi pengimbang kekuatan dominasi moneter mata uang Dolar, Euro, maupun Yen.

Pendeklarasian penggunaan kembali Dinar-Dirham sebagai instrument moneter dicetuskan pertama kali oleh Malaysia lebih kurang tiga tahun yang lalu (th 2003). Sehingga masih harus dikaji lebih mendalam dan dilakukan riset-riset guna menentukan format yang sesuai dengan perekonomian kontemporer saat ini. Agar “kelahiran kembali” Dinar-Dirham ini bisa kuat dan diakui seperti pada penerapan Euro sebagai mata uang bersama negara-negara Uni Eropa., yang mampu mengurangi dominasi Dollar AS dalam perdagangan dan siklus moneter internasional.

Tulisan ini bertujuan melakukan studi literatur dan analis tentang berbagai kemungkinan penerapan Dinar-Dirham sebagai instrumen moneter dengan langkah awal menggunakannya sebagai mata uang blok perdagangan negara-negara islam.

2. Sejarah Dinar dan Dirham

Dinar-Dirham sangat teruji tingkat kestabilannya, lebih dari 1500 tahun keduanya cenderung stabil dan tidak menimbulkan inflasi yang besar, sehingga menyebabkan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan[6]. Dizaman Ibnu Faqih (289 H), nilai tukar Dinar- Dirham berbanding 1:15 yang sangat mengejutkan seribu tahun kemudian, kurs 1:15 ini juga berlaku di Amerika pada 1792-1834 M.[7]

Berikut ini akan dijelaskan sejarah singkat secara kronologis kemunduran Dinar-Dirham, kemunculan uang kertas dan sistem perbankan konvensional yang menjadi institusi pendukungnya.[8]

Sebelum Islam datang, emas-perak telah digunakan bangsa Persia, Romawi, Israel, Yunani, Mesir kuno, Nabataens dan Tubba (Yaman), dan dilanjutkan di berbagai kekhalifahan seperti Ummayah di Syria dan Spanyol; Abbasiyah; 'Alawiyah di Tabaristan, Maghrib, Mesir, Syria dan Yaman; Dinasti Turki Saljuq; pemerintahan Daylam; Mongolia; Dinasti Kurdi di Mesir, Syria, dan Diyr Bakr; pemerintahan Turki di Mesir.
Dinar-Dirham pada mulanya adalah mata uang Romawi Timur dan
Persia. Kata Dinar berasal dari kata “Denarius” (bahasa Romawi) dan Dirham berasal dari kata ”Drachma” (bahasa Persia). Kemudian keduanya diadopsi bangsa Arab menjadi sistem mata uang mereka. Rasulullah menetapkan sebagai mata uang yang resmi dan sah, digunakan sebagai alat transaksi dalam berbagai hubungan muamalah dan berbagai macam peraturan syariat Islam yang berhubungan dengan harta dikaitkan pula dengan keduanya. Penggunaanya terus berlanjut sampai masa kekhalifahan pada priode-priode berikutnya.

Masa Khalifah Umar ibn al-Khattab radiallahu anhu (13-23 H/634-644 M), ditetapkan perbandingan standar bobot Dirham perak dengan Dinar emas yakni 10 : 7 (1 mithqal). Pada masa awal Islam, perbandingan nilai tukar emas dengan perak adalah sekitar1:20.


Masa kekhalifahan Uthman ibn 'Affan radiallahu anhu (23-35 H/ 644-656 M), dicetak koin yang meniru Dirham perak Sassanian Yezdigird III. Dalam koin itu telah tertera tulisan”Bismillah”.
Tahun 64 H/ 683-684 M, pertama kali berkurangnya nilai Dirham oleh 'Ubayd Alih’ibn Ziyad dengan dicampurnya logam lain.
Masa kekhalifahan Khalifah Abdalmalik, 74 H, dicetak koin emas berbobot 4,4gr dengan tulisan "Dinar" tertera di atasnya.
Tahun 77 H, dicetak lagi Dinar yang bobotnya berubah menjadi 4,25gr, mengikuti standar Khalifah 'Umar ibn al-Khattab, radiallahu anhu.
Tahun 79 H/ 698 M, masih masa kekhalilifahan Abdalmalik, dicetak koin perak dengan tulisan "Dirham" tertera di atasnya, berbobot 2,97gr dan berdiameter 25-28mm.
Pada masa Sultan al-Kamil, fulus (koin tembaga) dicetak pertama kali di Mesir.

Penggunaan Dinar-Dirham secara resmi baru berakhir seiring runtuhya kekhalifahan Turki Ustmani pada tahun 1924 bersamaan berakhirnya perang dunia I. [9]
Abad 11 di Italia.
Uang-kertas mulai diedarkan dengan sangat terbatas di kalangan pedagang dan bankir Italia. Tahun 1294 M, uang-kertas coba diterbitkan menteri Ilkhan Gaikhatu dengan mencontoh uang-kertas Cina, untuk mendanai tekornya pengeluaran.
Tahun 694-696 H/ 1295-1297 M, Mesir. terjadi pemotongan nilai fulus , dengan cara dicetaknya fulus baru yang bobotnya lebih ringan, karena ketamakan Vizir Fakhr al-Din 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz al-Khalil dan anggota sultan yang lain. Namun karena itu pula, sejak itu fulus dinilai berdasarkan bobotnya dan bobot 1 ratl fulus setara dengan bobot 2 Dirham perak.
Abad 13, perubahan pasar menyebabkan spekulasi perbandingan nilai tukar emas dengan perak menjadi 1:10 meski nilai tukar resmi tetap 1:20.
Akhir abad 14, nilai perak meningkat, karena permintaan perak meningkat di Italia, sedangkan stok perak di percetakan menurun secara bertahap (1380 M).
Tahun 784-801 H/ 1382-1399 M, Mesir. Selama pemerintahan Sultan Barqq, peredaran fulus makin meluas karena kelangkaan perak. Saat beliau wafat, nilai tukar Dinar terhadap Dirham menguat dari 1:23 menjadi 1:30.

Saat ini koleksi mata uang peninggalan kekhalifahan Islam tersebut disimpan di sebuah museum di Paris. Disana dapat kita temui koleksi empat mata uang, salah satunya sampai saat ini dianggap satu-satunya didunia yaitu yang dicetak pada masa pemerintahan imam Ali r.a.[10]

Tahun 1408 M. Genoa, Italia. Sekelompok bankir dan ahli keuangan membentuk bank bersama, yakni the Casa di San Giorgio . Genoalah yang pertama membangun sistem bill of exchange sebagai mekanisme monopoli kredit dan menyamarkan riba. Sistem ini lalu ditularkan ke seluruh Eropa.
Awal abad 15, ketenaran Dirham perak berkurang . dan diakibatkan akibat perang salib suku bunga meningkat menjadi 18-25%.
Tahun 1425 M, Mesir. Sultan Barsbay memotong nilai Dinar, dari 4.25 gr menjadi 3.45 gr (bobot mata uang emas Eropa), dan tetap menjadi uang emas di Mesir hingga akhir pemerintahan Mamluk. Dengan demikian standar uang mulai berubah dari Muslim ke Eropa.
Abad 15, uang kertas beredar meluas ke Napel, Swedia, Köln, Wina, dan
Granada. Tahun 1694 M, bank sentral pertama yakni Bank of England didirikan William Paterson. Ia lalu meminjamkan kekayaan banknya dengan bunga kepada William of Orange, raja Inggris, untuk membiayai perang melawan Prancis. Ketika meruak kabar yang menyatakan bahwa sebenarnya jumlah emas yang dimiliki bank tersebut tak cukup bagi seluruh kerajaan, pemerintah lalu mengeluarkan undang-undang yang mengesahkan kuitansi sebagai uang yang nilainya setara dengan emas yang diwakilinya. Sejak itu kuitansi utang menjadi alat tukar sah. . Tahun 1720 M, uang-kertas kembali coba diedarkan di Perancis.
Tahun 1760-an M,
Amsterdam. Krisis uang-kertas diikuti kebangkrutan setelah perang 7 tahun di Belanda (1756-1763). Seperti halnya di Genoa, di Amsterdam kebangkrutan terjadi karena diciptakannya kredit dari nihil dan tak disokong uang nyata (emas-perak), dan kredit tumbuh dengan proporsi tak teratur, serta pinjaman yang buruk.

Tahun 1773 M, Inggris bangkrut dengan utang 5 juta florin (mata uang logam Inggris-pen.). Pasar saham berhenti dan perusahaan lain tutup. Yang bisa bertahan adalah yang memiliki uang nyata/emas.
Tahun 1816 M. Inggris kembali ke standar emas, namun saat itu uang-kertas telah diterbitkan bank. Emas dan perak tak lagi menjadi mata uang utama. Untuk membiayai perang melawan Prancis, Pitt membujuk parlemen Inggris mengesahkan Bank Restriction Act , yakni untuk sementara uang-kertas tak bisa ditukar ke emas-perak, dan ini tetap berlangsung selama 24 tahun!
Tahun 1835, Joel putra Schutzjude Moses Hirsch (Yahudi yang dilindungi penguasa), mendirikan bank hipotek pertama dengan Rothschilds sebagai pemegang saham utama.
Tahun 1840 dan 1842, Turki. Uang-kertas (Kaime-I Mutebere) mulai diterbitkan di Turki.
Tahun 1845 M, Turki. Pemerintahan Usmaniyah bersama Mm. Alléon dan Théodore Baltazzi mendirikan Bank of Constantinople , yang ternyata untuk memberikan pinjaman kepada pemerintah! Perang Semenanjung Krim (Uni Soviet) menjadi alasan masuknya perbankan ke dalam Daulah Usmaniya dan bankir Eropa memainkan tipuan dan kejahatan terbesarnya yakni investasi. Investor 'Prancis' pertama yang masuk adalah Rothschilds, namun pemerintah telah mengizinkan dibangunnya Ottoman Bank dengan modal dasar 500 ribu poundsterling. Dan mulailah era terjeratnya kekhalifan Islam dalam jerat moneter yahudi.

3. Dinar-Dirham Sebagai Alat Kebijakkan Moneter

Isu penggunaan Dinar-Dirham sebagai alat kebijakkan moneter dan sebagai mata uang blok perdagangan negara-negara Islam marak digulirkan dalam seminar-seminar dan konfrensi-konfrensi guna menggugah dan mensosialisasikan kesadaran khususnya pemerintah dan dunia usaha negara-negara islam untuk bertansaksi dengan mata uang Dinar-Dirham ini.

Sedangkan dibarat kesadaran bahwa menyimpan emas lebih aman dari pada menyimpan paper money terlihat mulai marak. Diantaranya dinyatakan oleh Donald J Hoppe dalam bukunya yang berjudul ” How to Invest in Gold Coins “. Dia menulis :

Negara-negara barat yang membebaskan/mengizinkan penggunaan emas secara bebas sebagai unit penyimpan kekayaan telah sedikit dimudahkan dari beban inflasi yang melanda warganya. Sayangnya penyakit inflasi yang tersembunyi kronik adalah satu catatat tersendiri di negara yang menganut system ekonomi neo Keynesian. Namun dengan adanya izin kepemilikan emas secara pribadi dalam berbagai bentuk paling tidak hal tersebut telah membuat negara sadar bahwa warganya harus memiliki hak untuk mempertahankan diri mereka sendiri “[11].

Tampaknya kesadaran untuk menyandarkan kembali mata uang dengan emas atau logam mulia telah menjadi tren dunia dan menjadi topik kajian ekonom-ekonom di dunia.

Dalam tataran praktisnya kembali Malaysia menjadi pionir pengembangan ekonomi syariah. Malaysia yang pertama kali mencetuskan gagasan penerapan blok perdagangan negara-negara Islam yang menjadikan Dinar-Dirham sebagai alat tukarnya, guna menandinggi kedikdayaan dollar AS dan Euro pernyataan ini dikeluarkan oleh wakil perdana menteri Malaysia N.M Yakcob dan menyatakan system ini mulai berlaku pada tahun 2003[12]. Ide ini disambut baik oleh beberapa negara seperti Iran, Bahrain, Sudan dan Maroko. Hal ini kembali Malaysia membuktikan usahanya menjadi pusat keuangan syariah internasional.

Saat ini ada ada dua system untuk mewujudkan hal tersebut. Pertama yang diajukan oleh pemerintah Malaysia , yaitu Bilateral Payment Aggrement (BPA) dimana menggunakan standar bimetalisme menggunakan dua mata uang logam yang berbeda jenis dalam waktu bersamaan dan Multilateral Payment Aggrement (MPA) dimana masing-masing negara dalam suatu jaringan bisa menetapkan sendiri jumlah perdagangan dan jumlah yang harus dibayarkan pada priode waktu tertentu, transfer barang hanya ditentukan dalam bentuk emas. Kedua adalah perusahaan swasta yang melakukan pembayaran mata uang emas dengan elektronik seperti E-Dinar dan E-Gold, untuk sistem BPA dan MPA menggunakan mata uang emas hanya untuk perdagangan internasional.[13]Mekanisme transaksi BPA dan MPA dalam perdagangan internasional akan melalui tahapan dan mekanisme yang melibatkan bank umum, bank sentral, dan custodian emas (penyimpan emas).

Ada empat tahapan yang dilalui dalam mekanisme transaksi perdagangan tersebut. [14]

Pertama, adanya perjanjian dagang antara importir dan eksportir yang berada di dua negara yang berbeda, dengan kejelasan kondisi barang dan jumlah barang yang akan ditransaksikan. Tentu saja, sesuai dengan syariat Islam, akad yang terjadi harus bebas dari unsur-unsur gharar, maysir, dan riba.

Kedua, setelah melakukan perjanjian dagang, kemudian pihak importir akan mengeluarkan letter of credit (LC) untuk melakukan pembayaran melalui bank yang sudah ditunjuknya. Selanjutnya, pihak eksportir akan menerima letter of credit (LC) dari bank tersebut.

Ketiga, pihak bank yang ditunjuk oleh importir akan segera melakukan pembayaran kepada bank sentral dengan menggunakan mata uang lokal yang kemudian akan mengakumulasikan transaksi kedua negara dengan standar emas hingga masa kliring.

Keempat, setelah masa kliring selesai, bank sentral negara importir akan mentransfer emas senilai dengan transaksi perdagangan kedua negara kepada pihak custodian emas yang telah ditunjuk, untuk selanjutya diserahkan kepada bank sentral negara eksportir. Bank sentral negara eksportir ini selanjutnya akan melakukan pembayaran dalam mata uang lokal kepada bank yang telah ditunjuk oleh eksportir. Kemudian bank tersebut akan menyerahkannya kepada pihak eksportir.

Berikut digambarkan skema contoh model transaksi antar dua negara menggunakan Dinar:

Ilustrasi

Pedagang Indonesia mengespor komoditi minyak kelapa sawit mentah (CPO) ke importir di Malaysia senilai Rp 5 Milyar. Importir Malaysia tersebut membayar eqivalen dengan nilai tersebut senilai 2 juta Ringgit melalui perantara sebuah bank umum di Malaysia. Kemudian bank umum Malaysia tersebut mentransfernya ke Bank Negara Malaysia (bank sentral Malaysia) kemudian nilainya dikonversi ke dalam mata uang Islamic Dinar dan melalui bank kusdotian Islamic Development Bank (IDB) diteransfer ke Bank Indonesia/BI (bank sentral indonesia) oleh BI dikirim ke rekening eksportir tersebut pada sebuah bank umum di Indonesia dalam bentuk rupiah. Dan ekspotir Indonesia tersebut dapat mengambil uangnya sebesar Rp. 5 Milyar pada bank umum tersebut.

Berikut ini digambarkan dengan skema

Skema Model Transaksi Antar Dua Negara Menggunakan Dinar

Jika penerapan ini disetujui oleh 57 negara OKI niscaya akan menjadi sebuah sukses besar,. Namun, hal ini masih memerlukan suatu proses yang panjang untuk pengenalan, adaptasi dan pembentukkan insfrastrukturnya. Karena pasti akan menghadapi beberapa factor penghalang, diantaranya adalah kesenjangan ekonomi yang besar antara negara-negara OKI, sehingga penerapannya harus secara bertahap.[15]

Azizah dalam tulisannya di jurnal ekonomi Islam MUAMALAT yang diterbitkan Shariah Economics Forum UGM dan Ribat seorang kolumnis di situs internet www.islamhariini.com dan sumber-sumber lain yang penulis baca pernah mencoba membuat analisis terhadap menerapan Dinar-Dirham sebagai mata uang tunggal blok perdagangan negara-negara Islam. Berikut ini penulis mencoba menampilkannya dengan lebih terstuktur dalam bentuk bagan analisis SWOT.

STRENGTH :

ü Terbukti cenderung stabil

ü Tidak akan mengalami inflasi hanya karena dicetak terus-menerus

ü Tidak dapat di devaluasi oleh sebuah peraturan pemeriuntah

ü Tidak bergantung janji siapapun (otoritas moneter) untuk membayar nilai nominalnya

ü Memenuhi persyaratan menjadi mata uang antara lain mempunyai nilai tinggi, durability, diterima oleh masyarakat luas.

ü Memenuhi ketentuan Syariah

ü Jika penerapan ini berhasil maka akan menciptakan kemandirian bagi negara-negarta Islam, baik dari segi ekonomi maupun politik

ü Stabilitas perekonomian akan lebih mudah dicapai, mengingat nilai emas yang relatif lebih stabil. Sehingga diharapkan, volume perdagangan antarnegara Islam dapat berkembang

WEAKNESS :

ü Komitmen negara-negara anggota OKI yang rendah

ü Tingkat kemakmuran negara-negara OKI yang berbeda

ü Adanya banyak kesamaan sumberdaya yang dimiliki negara-negara OKI, padahal syarat terjadinya hubungan antara dua negara dalam perdagangan internasional adalah adanya perbedaan coparative advantage dan keduanya pun juga saling membutuhkan.

ü Ketersedian emas yang tidak merata di antara negara-negara Islam, sehingga dapat menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan.

ü Masih tingginya ketergantungan dunia Islam terhadap produk yang dihasilkan oleh negara-negara non-Muslim (baca: Barat), terutama terhadap produk-produk industri dengan teknologi tinggi.

ü Nilai transaksi perdagangan yang masih sangat kecil sesama anggota OKI, yang menyebabkan signifikansi emas menjadi tidak terlalu substantif.

OPPORTUNITY :

ü Penguatan peran OKI dalam menyerukan dan mengorganisir hal ini

THREAT :

ü Perubahan strategi yang akan dilakukan negara-negara yang merasa terancam dengan penerapan Dinar-Dirham ini dalam suatu close union negara-negara Islam


tabel Analisis SWOT Penerapan Dinar-Dirham Sebagai Mata Uang Tunggal Blok Perdagangan Negara-Negara Islam

Langkah-langkah yang dapat diambil oleh negara-negara Islam dalam menghadapi kelemahan dan tantangan penerapan Dinar-Dirham antara lain :[16]

§ Memperkuat komunitas negara-negara Islam ditingkat regional maupun internasional.

§ Menyebarluaskan ide ini ke negara-negara anggota OKI dan memperkuat peran OKI dalam mengorganisir dan menyatukan visi dan misi masing-masing negara Islam.

§ Mensinergiskan berbagai institusi Islam di berbagai negara dengan berbagai tingkatannya dalam mengkaji, mengekplorasi dan mengelaborasi ide penerapan Dinar-Dirham ini dari berbagai macam sudut pandang, seperti IDB ( Islamic Deveploment Bank), IIIT ( The International Institute of Islamic Thought ),OKI, universitas-universitas Islam, dan lain sebagainya.

§ Memetakan dan membuat database sumber daya yang dimiliki negara-negayra anggota OKI, serta tingkat kemakmuranya agar dapat diketahui potensi masing-masing negara tersebut.

§ Membangun berbagai macam insfrastruktur untuk membuat berbagai macam spesialisasi produk antar negara-negara anggota OKI.

§ Membentuk Close Union

Bahwa negara-negara Oki perlu memperkuat diri dengan mempermudah regulasi-regulasi perdagangan antar negara anggota serta dapat membuat aturan yang berbeda untuk bertransaksi dengan negara-negara bukan anggota OKI..

§ Membentuk Common Market

Perlu adanya pasar bersama untuk melakukan transaksi perdagangan antar anggota OKI serta meningkatkan spesialisasi produk antar negara anggota.

§ Mempelajari penerapan Euro sebagai mata uang negara-negara Uni Eropa

4. Kesimpulan

Kembalinya Dinar-Dirham sebagai mata uang kaum muslimin dan alat kebijakkan moneter negara-negara Islam yang sesuai dengan perintah syariah bukanlah suatu utopia belaka. Akan tetapi usaha mewujudkannya tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Langkah strategis awal yang dapat diambil negara-negara Islam saat ini dalam mewujudkannya adalah dengan membentuk blok perdagangan antar negara-negara Islam dengan mata uang Dinar-Dirham sebagai instrumen alat tukarnya.

Akan tetapi penerapan konsep ini memerlukan waktu yang panjang untuk beradaptasi dan riset-riset guna penyempurnaan konsep tersebut.

Dengan komitmen yang kuat dari berbagai lini umat Islam untuk mengembalikan kejayaan Islam insya Allah hal tersebut tidak mustahil dicapai.

Wallahu’alam Bissawab



[1] DR Ahmad Hasan, Mata Uang Islami Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet 1, 2005, hal ix

[2] Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Ekonomi Islam Suatu Kajian kontemporer, Jakarta: Gema Insani press,Cet 1, 2001, Hal 146

[3] Hasan, Op.cit.

[4] Karim, Op.cit. hal 147

[5] Republika, 6 September 2002

[6] Ibid

[7] Karim, Op.cit. hal 59

[8] www.islamhariini.com

[9] Irfani Fitri Azizah, Dinar dan Dirham Sebagai Mata Uang Tunggal Blok Perdagangan Negara-negara Islam ; Suatu Analisis Kritis, Jurnal Ekonomi Syariah MUAMALAH vol. 2, No.2, Oktober 2003 hal 96-9, Shariah Economics forum Universitas Gajah Mada (SEF UGM).

[10] Karim, Op.cit. hal 58

[12] Azizah, Op.cit. hal 99

[13] Azizah, Op.cit. hal 99, mengutip Syah Nuradli Ridzwan dkk, The Mecanism of Gold dinar,Malaysia : 2002, Unpublished paper Universiti Tenaga Nasional ,

[14]www.pesantrenvirtual.com , mengutip Handi Risza idris dan Irfan Syauqi Beik dalam kolom berjudul ‘Menyambut Dinar-Dirham’,

[15] Ibid

[16] Azizah, Op.cit. hal 100

Read More......